Tiga bulan telah berlalu, dan hari ini akhirnya aku mendengar tentang dia yang telah melamar wanita pilihan gurunya itu. Berita ini akhirnya benar-benar kudengar juga.
Aku menarik nafas panjang dan memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya ikut tersenyum bahagia atas kabar bahagia yang disampaikan langsung olehnya. Kabar ini seolah menjadi uji coba atas sebuah benteng yang telah kubangun pada hati yang rapuh itu.
Begitupun hal nya dengan Raeza, dia juga ikut menghilang setelah foto seorang wanita terpampang pada snapgramnya beberapa hari yang lalu. Tapi kini aku tak terlalu memperdulikan tentang mereka, biarlah apapun alasan mereka memilih untuk meninggalkanku, aku sudah tak peduli.
Aku hanya ingin menghabiskan hari-hariku kini untuk pengabdian pada Allah melalui masyarakat, belajar ribuan hal tentang terjun ke masyarakat. Bersama teman-teman baru yang sudah seperti keluarga bagiku, aku ingin menjadi pelopor perubahan di lingkungan tempat tinggalku ini.
Sebuah artikel yang berjudul "Aku berhenti mengagumimu" membuatku tersenyum dan mengerti tentang apa yang telah kulakukan selama ini.
"Saat aku berusaha melupakanmu, kamu malah semakin menghantuiku. Tapi saat aku berhenti mengagumimu, maka keikhlasan menyapaku, dan kamu kini tak ada lagi di hatiku" ucapku dalam hati.
Aku memposting judul dan beberapa kalimat motivasi dalam artikel itu. Tak lama kemudian sebuah notifikasi pemberitahuan komentar masuk, mengalihkan pandanganku dari goresan pena dalam buku diaryku.
Kulihat satu pesan suara dari Raeza. Aku mulai mendengarkan setiap kata dalam pesan suara itu. Sebuah lagu tentang kerinduan dinyanyikannya dengan suara serak khasnya.
Agil : Mmm subhanallah, yang sedang merindu. Rindu siapa Za?
Raeza : Eh gil
Agil : Iyah
Raeza : Kamu ke mana aja?
"Bukannya dia yang ngilang yah, dichat aja dia gak bales, padahal Ara ngechat nya juga nanyain tentang pelajaran" pikirku.
Agil : Ada
Tak ada lagi balasan darinya. Biarlah aku pun tak ingin memperpanjang pembicaraan tidak penting dengannya.
Aku kembali menggoreskan kisah dalam buku diary itu. Menceritakan segala hal yang terjadi dan segala hal yang tengah kurasakan. Entah kapan kebiasaan itu akan berhenti, tapi aku suka saat-saat di mana aku sedang sendiri dan mencurahkan segalanya lewat tulisan.
Waktu terus berjalan, bulan demi bulan kulalui. Raeza, laki-laki itu terus datang dan pergi sesuka hatinya, mempost foto-foto wanita dengan gambar hati yang dicantumkan di setiap captionnya, entah siapa wanita itu.
"Dia kembali jadi Raeza yang dulu?" pikirku.
Siang itu sinar matahari bersinar begitu teriknya, aku duduk di depan halaman masjid tempatku mengajar. Hari ini aktivitas mengajarku kembali dimulai setelah libur panjang hari raya Idul Fitri kemarin. Jadwal kegiatan tahfidz untuk anak-anak mengharuskanku melawan rasa kantuk yang mulai menyerang dengan hebatnya.
Aku berjalan masuk dan duduk di pojok tembok sebelah kanan dekat pintu masuk saat kulihat gerombolan anak-anak muridku berlari menghampiri. Tepat pukul 14:15 kelas tahfidz dibubarkan. Aku menaruh Al-Qur'an di atas meja kecil yang berada di hadapanku kemudian memeluk kedua kaki dan mulai membenamkan wajah di antara keduanya.
Selalu saja ada ketenangan saat berada di tempat itu. Aku mulai memejamkan mata, melepaskan kantuk yang sejak tadi terus mengganggu, meski untuk beberapa saat saja. Namun baru saja mata terpejam sebuah suara yang terdengar begitu pelan membangunkanku.
"Raa.. " panggilnya.
Aku mengangkat wajah dan membuka mata, melihat seseorang yang terus memanggil namaku untuk kembali di dunia nyata. Dengan kesadaran yang kumiliki, kulihat laki-laki berpeci hitam tengah tersenyum simpul dihadapanku.
"Kak Dany.." ucapku.
"Kamu kenapa Ra?" tanyanya.
"Mmm Ara gapapa, cuma sedikit ngantuk" jawabku disusul seringai senyuman.
"Kok sendiri? Yang lainnya ke mana?" tanyanya sambil duduk bersila sedikit menjauh dari posisi tadi.
"Masih pada sekolah" jawabku.
"Ohhh.. Eh iyah kamu jadi kuliah tahun ini?" tanyanya lagi.
"In syaa Allah, minta doa nya yah Kak." jawabku tanpa melihatnya.
"Tes nya kapan?"
"Dua minggu lagi Kak in syaa Allah"
"Allah yuftah 'alaiki, Ra" ucapnya sambil tersenyum.
"Aamiinnn" jawabku mengaminkan doa nya.
"Mmm Kak, Ara pulang duluan kalo gitu yah" pamitku segera.
"Bentar Ra" ucapnya menghentikan langkahku.
Kulihat dia merogoh tas kecilnya dan berjalan menghampiriku yang berada tepat di depan pintu masuk.
"Kenapa Kak?" tanyaku.
"Ini" ucapnya sambil menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang.
"Buat siapa?" tanyaku lagi.
"Buat kamu" jawabnya.
Aku mengambil kotak itu dengan ragu, perlahan aku mulai membukanya dan kulihat beberapa barang yang terasa tak asing dalam pandangan mataku.
Pulpen hijau bertuliskan Mr. Right, gelang berwarna cokelat yang pernah diberikannya dulu, sebuah lukisan wajahku yang dulu pernah diminta olehnya dan sebuah undangan pernikahan berwarna biru langit dengan inisial D&S memenuhi kotak itu.
"Minggu depan Kakak bakal nikah Ra, in syaa Allah" ucapnya.
Aku terdiam menatap undangan itu, entah rasa apa yang tiba-tiba menghampiriku saat itu. Aku segera menggelengkan kepala pelan, beristighfar di dalam hatiku dan menghembuskan nafas pelan.
"Alhamdulillah.. Barakallah Kak, semoga lancar sampai hari H dan jadi keluarga samawa selamanya" ucapku sambil tersenyum.
"Aamiinnn.., makasih Ra. Kakak harap kamu dateng yah"
"In syaa Allah" jawabku.
"Tapi kenapa gelang ini dikasih lagi ke Ara? Ara minta maaf tapi Ara gak bisa nerima gelang ini lagi" lanjutku sambil menyerahkan gelang itu padanya.
"Please, Kakak ingin Ara yang menyimpan gelang itu. Kakak gak bisa nyimpen gelang itu, gelang itu selalu mengingatkan Kakak sama Ara dan Kakak gak mau itu terjadi apalagi Kakak bakal segera nikah. Tapi gelang itu begitu berarti buat Kakak, gelang itu gelang kesayangan Kakak" ucapnya memelas.
"Tapi maaf Ara juga gak mau nyimpen gelang itu" jawabku tegas.
"Please Ra" ucapnya lagi.
"Ya udah biar Ara bawa gelang ini. Ara duluan yah, Assalamu'alaikum.." pamitku kembali dengan segera.
"Makasih Ra. Wa'alaikumussalam.." jawabnya.
"Jangan Ra, jangan sakit, jangan nangis. Allah.. Kenapa hati ini kembali terluka karna hal ini? Kenapa Ara gak bisa benar-benar mengikhlaskannya? Kenapa masih ada sakit yang Ara rasakan? Allah bantu Ara untuk dapat mengikhlaskannya" ucapku dalam hati ketika melangkahkan kaki meninggalkannya.
Langkah demi langkah kupijaki, sebuah tong sampah yang terletak di depan kantor posyandu menjadi tujuan utama langkahku kali ini. Aku menatap undangan, gelang dan tong sampah itu secara bergantian.
"Maaf sekarang Ara bukanlah Adara yang dulu, Ara yang sekarang adalah Ara yang tak ingin lagi terjebak dalam buaian cinta semu yang hanya menjanjikan tanpa membuktikan" ucapku sambil membuang gelang dan pulpen itu ke dalam tong sampah.
"Kamu tak berhak menempati hati Ara walau sedikit pun, kamu juga tak berhak menjadi pemikiran Ara meski hanya satu detik saja. Pergilah, Ara sudah bahagia" ucapku dalam hati dan melanjutkan langkah untuk pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta
SpiritualeCinta adalah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam, untuk rela berkorban, tanpa mengharap imbalan apapun, dan dari siapapun kecuali imbalan yang datang dan diridhoi Allah. Cinta itu mestinya membahagiakan, bukan membuatmu sedih...