#37

383 14 0
                                    

Sabarmu tidak pernah habis untuk menenangkanku. Meski seringkali aku merepotkanmu, selalu menggerutu ketika lama menunggu, selalu marah tak jelas setiap kali kamu tidak mengerti inginku, tapi kamu selalu mengerti kekuranganku.

Terima kasih telah menjadi melodi indah dalam hambarnya laguku, telah menjadi suara di heningnya ronggaku, telah mewarnai cerita senduku dengan keberadaanmu. Terima kasih telah hadir dengan ribuan cahayamu untukku, terima kasih telah menjadi alasan aku untuk merindu sedalam ini. Bagiku kamu bukanlah pengisi kesepianku kala itu, tapi kamu adalah bahagiaku.

Sudah satu minggu aku mengakhiri kisahku dengannya, tapi yang kudapatkan masih tetap sama, rindu. Rindu itu semakin lama semakin membesar, entah apa yang harus aku lakukan dengan rindu itu, rindu itu bak hujan yang datang tanpa permisi, semakin lama semakin membesar tanpa tau kapan akan berhenti.

“Ra, ada telpon dari Teh May.” Teriak Kak Irfan dari luar kamarku.

Dengan segera aku menghampirinya dan mengambil ponselku kemudian kembali ke dalam kamar lagi.

“Assalamu’alaikum Teh May.” Sapaku.

“Wa’alaikumussalam Ra.” Jawabnya.

“Lagi ngapain? Bisa ketemu gak?” tanyanya.

“Ketemu? Ada apa emang Kak? Kangen yah sama Ara, padahal kemarin juga kan ketemu di kajian.” Ucapku sambil tertawa.

“Kepedean, Teh May mau ngasih sesuatu buat Ara.”

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Ada deh. Bisa gak?” tanyanya lagi.

“Bisa sih, di mana?” tanyaku.

“Nanti Teh May jemput kamu aja yah?” tawarnya.

“Oh gitu, ya udah. Jam berapa Teh?” tanyaku.

“Ntar siang aja deh”

“Oke.” jawabku menyetujui.

“Ya udah, Teh May tutup yah, wassalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Teriknya matahari mengantarkanku bertemu dengan Teh May di pangkalan ojek dekat rumah, tak berapa lama kemudian dia datang untuk menjemputku, dia membawaku ke sebuah tempat makan dengan nuansa alam yang begitu kental. Sesampainya di sana dia duduk dihadapanku dan hanya tersenyum setelah memesankan minuman untukku.

“Ra, kamu kenapa sih? Kayanya ada sesuatu yang kamu pikirin.” tanyanya.

“Ara? Ara gapapa.” Jawabku.

“Keputusan kamu benar Ra, jadi jangan terus bersedih, kamu wanita tangguh.” Ucapnya sambil memegang tanganku, setelah terdiam cukup lama.

“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.

Dia terlihat berfikir sejenak, kemudian dia merogoh sesuatu di dalam tas nya. Dia terlihat menunduk sebelum akhirnya melihatku dan tersenyum. Dia menyodorkan sebuah buku bersampul biru padaku. Aku terkejut melihat buku itu.

“Keputusan kamu untuk mengakhiri ikatan itu sudah benar, sangat benar. Teteh tau gimana perasaan kamu ke dia, bagaimana bahagianya kamu sama dia, Teteh ngerti. Tapi hubungan itu tidak akan membuatmu bahagia dalam waktu yang lama, kebahagiaan itu hanya akan menyakitimu pada akhirnya.”

Aku melihatnya dengan tatapan tak mengerti, aku mencoba mencerna setiap ucapannya, setelah aku mulai dapat memahaminya, aku menundukkan wajahku, malu rasanya saat seseorang mempercayaiku, sangat mempercayaiku, tapi aku tak bisa menjaga kepercayaannya.

“Teteh pernah ada di posisi kamu Ra, kalau Teteh boleh bilang kamu hebat Ra, kamu wanita tangguh Ra. Percaya atau tidak, dulu Teteh pernah seperti orang gila, bahkan Teteh sempat ingin bunuh diri. Kamu tau apa alasannya? Alasannya hanya karena pacar Teteh ninggalin Teteh demi wanita lain.” Ucapnya menerawang.

Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang