#11

1.1K 21 0
                                    

“Kak Ara, coba lihat gelangnya.” Ucap salah satu temanku sambil memegang tanganku.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Gelangnya mirip kaya gelangnya Kak Dany, Kak.” Jawabnya.

Aku diam terpaku mendengar ucapannya, aku melirik sahabatku Fatimah yang kulihat sedang menertawakanku.

“Ini memang gelangnya Kak Dany.” Ucapku dalam hati.

“Perasaan kamu aja kali, lagian kan gelang kaya gini gak cuma satu.” Jawabku sambil tersenyum.

“Iya juga sih.” Jawabnya sambil melepaskan tanganku.

Dia adalah orang kesepuluh yang mengatakan hal itu. Haruskah aku berkata jujur pada mereka bahwa gelang yang selalu kukenakan memanglah gelang Kak Dany? Ahhh aku lelah berbohong, allah aku menyerah.

Aku tidak ingin berbohong lagi pada orang lain, aku tidak ingin mengatakan hal yang bertolak belakang dengan kenyataan. Setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini, aku mulai berfikir bahwa jalan yang kupilih untuk menerima cintanya pada waktu yang tidak tepat adalah sebuah kesalahan.

Aku tidak bisa terus menerus berbohong pada semua orang tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Aku tahu aku baru duduk di bangku SMA, tapi keinginanku bukanlah pacaran. Aku tidak pernah memikirkan tentang pacaran, bahkan sebelumnya aku sangat membenci sebuah hubungan dengan status pacaran. Tapi kini, justru aku yang menjalani sebuah komitmen hina itu.

Duduk termenung melayangkan pikiranku kesana kemari rasanya menjadi hobi yang kini mulai kutekuni.

“Apa balikin aja ya gelangnya? Tapi bisa gak yah, balikin jangan balikin jangan?” ucapku dalam batin sambil menatap gelang itu.

“Adaraaaa” teriak Fatimah.

“Astaghfirullah, kamu tuh ya, ngelamunin apa sih, serius banget sampai-sampai sahabatnya sendiri dikacangin.” Ucapnya jutek.

“Apa sih, ganggu mulu. Siapa juga yang ngelamun, Ara gak ngelamun.” Ucapku dingin.

“Gak ngelamun, gak ngelamun, gak lucu gembel.” Ucapnya.

“Kenapa sih?” tanyaku malas.

“Lah malah nanya balik, kamu yang kenapa, ngelamunin apa? Kak Dany lagi?” tanyanya.

“Apa sih, enggak. Ara gak mikirin Kak Dany.” ucapku.

“Terus mikirin siapa? Laki-laki lain? Maksud kamu, kamu ngeduain Kak Dany gitu? Terus sekarang kamu lagi mikirin cowo itu?” tanyanya dengan nada tak terima.

“Ya enggak lah, jangan suudzan.” Jawabku.

“Terus mikirin apa?” tanyanya.

“Kamu tau kan komitmen awal Ara, kalau Ara gak mau pacaran, Ara gak mau lama-lama pacaran apalagi backstreet, kamu tau kan kalau Ara benci sama hal itu?” ucapku sambil meliriknya dan dibalas anggukan olehnya.

“Tapi Kak Dany masih belum mau terbuka sama hubungan kita ke orang lain, kamu tau sendiri kan gimana sikap dia ke Ara kalau di depan orang lain? Ara bingung, Ara sebenernya gak mau kaya gini, rasanya Ara pengen banget putus sama Kak Dany.”

“Hah putus?” Ucapnya setengah berteriak.

“Iyah, gak usah teriak juga kali.” ucapku ketus.

“Sorry sorry, terus rencana kamu ke depannya gimana?” tanyanya.

“Makanya dengerin dulu, jangan asal potong aja. Ara pengen putus sama Kak Dany, tapi Ara juga udah terlanjur sayang sama dia. Ara bingung harus gimana, belum lagi mamah sama kakaknya Ara gak suka kalo Ara sama Kak Dany ditambah lagi ucapannya Kak Fitri waktu itu yang bilang gak boleh suka sama guru sendiri.” Ucapku mengadu.

Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang