Beberapa hari ini, Raeza kembali bersikap aneh. Bukan bersikap dingin, tapi cenderung lebih manja. Dia jadi sering menyanderkan badannya kepadaku, dia jadi sering memintaku untuk memainkan rambutnya. Ketika ku tanya alasannya, dia hanya menjawab bahwa dia hanya sedang merindukan ibu dan kakaknya yang sering memainkan rambutnya juga.
Beberapa hari ini juga dia datang ke rumahku dengan keadaan badan lemas dan wajah pucat. Dia jadi sering memegangi dadanya dan menghela nafas berulang-ulang. Dia sering sembunyi-sembunyi memejamkan mata dan meneteskan air matanya.
“Kalau ke rumah kamu, aku bawaan nya ngantuk terus Ra, jadi suka pengen tidur.” Ucapnya.
“Mmmm ya udah, tidur aja.” Jawabku.
“Gak ah, nanti aja.” Jawabnya sambil tersenyum.
Dia terlihat tengah sibuk memainkan ponselku, aku hanya memperhatikannya. Kulihat dia memejamkan matanya cukup lama sambil bersandar pada sandaran sofa, lagi-lagi dia terus menghela nafas berulang-ulang sambil memegang dadanya, ia menepuk-nepuk dadanya pelan. Aku menjadi semakin dibuat bingung dengan tingkahnya beberapa hari belakangan ini.
“Kamu kenapa sih Za? Kamu sakit? Sesak?” tanyaku bertubi-tubi dan hanya dijawab gelengan olehnya.
“Terus kenapa kamu megang dada terus, kaya yang lagi sesak Za.” Tanyaku sedikit khawatir.
“Aku gapapa Ra, kamu gak usah khawatir gitu, udah biasa kok, bentar lagi juga sembuh.” Jawabnya sambil mengelus puncak kepalaku.
Aku menyerah untuk bertanya lagi padanya, karena aku yakin dia hanya akan berkata “aku gapapa”. Aku menghela nafas perlahan, suasana mulai hening, tidak ada lagi percakapanku dengannya. Aku memainkan ujung kerudungku, ada rasa khawatir yang terus menetap dihati, melihat tingkahnya akhir-akhir ini membuatku selalu mengkhawatirkannya. Apalagi ku tahu dia adalah seorang perokok, dia bisa menghabiskan delapan batang rokok dalam sehari atau bahkan lebih.
“Ra..” panggilnya lembut.
Aku menoleh ke arahnya, kulihat dia sedikit gusar, sampai akhirnya dia tersenyum simpul ke arahku.
“Aku gapapa, beneran. Kamu gak usah terlalu khawatir.” Ucapnya sambil tetap tersenyum.
“Gimana aku gak khawatir ngeliat kamu gini beberapa hari ini, muka kamu sering pucat, kamu juga kayanya lemes banget.” Jawabku.
“Makasih yah kamu udah khawatir sama aku, aku jadi ngerasa deket sama mamah kalau lagi deket sama kamu.”
“Tuh kan jadi kangen lagi sama mamah, kamu sih bahas mamah.” Lanjutnya.
“Kok Ara? Yang bahas mamah kan kamu, bukan Ara.” Ucapku kesal.
Dia tertawa kecil mendengar ucapanku, aku hanya mendengus kesal melihat tingkahnya yang mudah berubah-ubah. Dia tidak menjawab ucapanku lagi, suasana menjadi hening kembali, dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, dia menghela nafas panjang.
Beberapa menit kemudian, dia menegakkan tubuhnya kembali. Kulihat dia tertunduk sambil memainkan jarinya.
“Ra..” panggilnya lagi dengan lebih lembut.
“Hmmm”
“Aku minta maaf yah kalau aku suka ngerepotin kamu, bikin kamu khawatir.” Ucapnya.
“Ra..” panggilnya sambil menoleh ke arahku.
“Sebenernya sejak kemarin-kemarin itu kepala aku pusing banget Ra, rasanya tuh berat makanya aku suka nyender ke kamu. Dada aku juga suka tiba-tiba sesek sakit, makanya aku sering menghela nafas terus.”
“Badan aku juga sakit semua Ra, gak enak rasanya. Aku sebenernya gak bisa cape-cape Ra, kata mamah dulu aku sering mimisan kalau kecapean. Tapi alhamdulillah sekarang udah nggak pernah kaya gitu, paling cuma suka pusing aja.” Jelasnya.
Aku diam tak berkata apapun, aku hanya melihatnya dan mendengarkan semua yang dikatakannya. Dia kembali menunjukkan tatapan itu, namun kali ini tatapannya terlihat sendu.
Aku bingung harus merespon seperti apa, lidahku rasanya kelu untuk berucap. Aku hanya terus melihatnya yang terlihat pasrah karena tak ada respon dariku.
“Aku minta maaf Ra, bikin kamu khawatir terus.” Ucapnya sambil menunduk.
“Kenapa kamu gak cerita kemarin-kemarin? Kamu kan janji ke Ara bakal cerita. Kamu gak pernah dengerin Ara, Ara kan bilang sama kamu untuk gak ngerokok terus, Ara tuh peduli sama kamu Za.” Ucapku sedikit bergetar.
“Aku gapapa Ra.” Ucapnya.
“Gapapa gimana? Liat muka kamu pucet, terus tadi kamu bilang dada kamu sakit. Gapapa apanya?” ucapku mengeras dan air mata pun tak sanggup untuk kupertahankan lagi.
Dia menunduk terdiam cukup lama, aku menghapus air mata yang dengan angkuhnya terus mengalir begitu saja. Aku tidak tahu mengapa aku dapat bersikap sekhawatir ini, jujur saja aku takut terjadi sesuatu padanya. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Kenapa nangis gitu sih? Aku udah liat kamu nangis tiga kali loh, jangan nangis dong aku gapapa, beneran.”ucapnya meyakinkanku.
“Iya deh iya, aku janji gak akan sering ngerokok lagi.” Ucapnya sambil terus tersenyum.
“Janji?” ucapku sambil mengacungkan jari kelingkingku.
“Janjiii..” jawabnya sambil melingkarkan kelingnya pada kelingkingku.
“Ya udah jangan nangis. Ada kain pel gak?” tanyanya.
“Kain pel? Buat apa?” tanyaku bingung.
“Buat lap air mata kamu.” Ucapnya sambil mengusap kasar wajahku.
Aku menghentakkan tangannya dari wajahku, kesal dengan tingkah yang dilakukannya. Aku memajukan bibirku beberapa senti, memalingkan wajah darinya. Tawanya meledak begitu saja melihat tingkahku. Ada perasaan lega dan tenang mendengarnya dapat tertawa lepas seperti itu. Aku menyunggingkan senyuman dengan tetap membelakanginya.
“Jangan marah dong, bercanda kok Ra.” Ucapnya memelas ketika tawanya mulai mereda. Sedangkan aku masih membungkam mulutku, tak ingin menanggapi perkataannya.
“Cieeee, merajuk ceritanya.” Ucapnya lagi yang diselingi tawa kecil.
Ku dengar helaan nafas berat darinya, beberapa menit keadaan hening, tidak ada yang memulai pembicaraan kembali. Hingga di menit berikutnya, dia duduk mendekatiku, jantungku berdegup dengan kencang.
“Jangan marah dong kan bercanda. Ya kali aku ngusap air mata kamu pake kain pel. Please jangan ngambek.” Ucapnya memelas.
“Iyahhh, aku gak marah kok.” Ucapku sambil berbalik menghadapnya dengan senyum penuh kemenangan.
“Ohhhh, jailin aku ceritanya. Aku kelitikin kamu.” Ucapnya sambil mencoba menggelitik tubuhku.
“Gak mau Za. Iyah iyah maaf, aku nyerah.” Teriakku.
Dia tertawa penuh kemenangan karena ancamannya sukses membuatku ketakutan dan berteriak. Aku tersenyum ketika melihatnya kembali tertawa.
“Aku seneng liat kamu ketawa lagi.” Ucapku sambil mengalihkan pandangan darinya.
“Makasih Ra. Aku sayang kamu, aku gak akan ngelepasin kamu, aku janji akan buat kamu jatuh cinta sama aku.” Ucapnya dengan suara yang sangat pelan namun masih dapat kudengar.
Aku tertunduk mendengar ucapannya, rasanya terasa menyesakkan di hati.
“Aku masih berharap padanya Za, maaf.” Ucapku dalam hati.
“Mmm.. aku bawain kamu minum yah.” Ucapku.
Tanpa menunggu jawaban darinya aku segera pergi meninggalkannya. Aku menghembuskan nafas berat, aku merasa frustasi dengan keadaan saat ini. Di satu sisi aku senang berada di dekatnya, dengannya aku merasa kembali dengan sosok laki-laki di masa kecilku, dengannya juga aku dapat melupakan rasa sakit dan kecewa yang selama ini aku pendam terhadap Kak Dany. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa menghapus perasaanku pada Kak Dany, aku tidak bisa terus melukainya lebih dalam, aku masih sangat ingin bersamanya, untuk saat ini hatiku masih untuknya, untuk Kak Dany, bukan Raeza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta
EspiritualCinta adalah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam, untuk rela berkorban, tanpa mengharap imbalan apapun, dan dari siapapun kecuali imbalan yang datang dan diridhoi Allah. Cinta itu mestinya membahagiakan, bukan membuatmu sedih...