Waktu terus berlalu, bulan demi bulan berganti, kini aku mulai memasuki masa-masa ujian sekolah, mulai dari ujian praktek hingga ujian nasional yang akan dilaksanakan pekan depan.
Tak terasa esok adalah hari pertamaku mengikuti ujian nasional. Malam ini terasa begitu tenang, bintang-bintang bertaburan melukiskan indahnya ciptaan Sang Maha Kuasa.
Aku terduduk di pelataraan rumah, menikmati hembusan angin malam yang menyusup tubuhku, menikmati indahnya kerlipan bintang-bintang di langit. Aku tak mengerti apa yang kurasakan kini, bukannya mempersiapkan diri untuk hari esok, aku malah duduk dengan rindu yang entah pada siapa dan entah untuk apa.
Aku menghembuskan nafas panjang, dan beranjak masuk ke dalam rumah. Aku terdiam ketika melihat orang tua ku tengah bersenda gurau dengan kedua kakak ku. Aku mulai melukiskan senyuman kecil dan menghampiri mereka.
“Mah, do’a-in Ara yah.” Ucapku sambil bersimpuh di pangkuannya.
“Iyah, pasti Mamah do’akan biar ujiannya lancar.” Jawab Mamah.
“Ara pasti bisa, anaknya Ayah kan pintar.” Timpal Ayah sambil mengelus puncak kepalaku.
“Tidur gih, biar gak kesiangan.” Ucap kakak perempuan ku.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban dan berjalan ke kamar meninggalkan semuanya. Sesampainya di kamar, aku duduk di depan meja belajarku, menatap ponsel yang sudah beberapa hari ini tidak ku sentuh.
Seperti rindu yang melanda, namun entah rindu karena apa dan entah rindu pada siapa. Seperti rasa kehilangan sesuatu namun entah apa itu, seperti sedang menanti namun entah menanti apa dan menanti siapa. Rasa itu terus menghantuiku hari itu. Beberapa menit berlalu, aku memutuskan untuk membaringkan tubuhku pada tempat tidur dan mulai menutup mata.
Suara adzan subuh membangunkan ku dari tidur malam itu. Setelah melaksanakan shalat subuh dan bersiap, aku duduk di pelataraan rumah, menikmati udara dingin pagi dan kicauan burung yang beterbangan ke sana ke mari.
“Selamat pagi Adara.. “ ucapku lirih.
“Adara ayo sarapan dulu.” Teriak Mamah dari dalam rumah.
Aku beranjak masuk ke dalam rumah, dan menghampiri Mamah yang tengah menyiapkan sarapan. Setelah sarapan, aku bergegas menggunakan sepatu dan berpamitan pada kedua orang tua ku.
Kulangkahkan kaki dengan iringan basmalah dan doa yang ku yakin tak pernah putus dari orang tua ku. Hari itu mentari seolah ingin menemani dan memberiku semangat, ia bersinar sepanjang hari itu.
Hari demi hari kulalui, hingga ujian nasional pun berakhir. Aku menghembuskan nafas dan mengucap hamdalah sebagai perwujudan lepasnya rasa letih yang tak dapat digambarkan. Aku dan teman-teman yang lain tersenyum saat tatapan mata saling beradu, sebelum akhirnya semua berhamburan saling memeluk.
Saat hari kelulusan datang, semua saling menggenggam seolah memberi kekuatan dan keyakinan satu sama lain. Menit demi menit berlalu dan alhamdulillah semua dinyatakan lulus, isakan tangis haru mewarnai pelukan hari itu. Semua terlihat begitu bahagia, setelah hari-hari melelahkan yang membuat kami harus selalu pulang larut dengan guyuran hujan, badai kantuk dan kerinduan akan tidur siang di setiap harinya.
Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa langit selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Tapi Dia selalu memberi pelangi di setiap badai, senyum di setiap air mata, berkah di setiap cobaan dan jawaban di setiap do’a, juga kesulitan bersama kemudahannya.
Minggu demi minggu berlalu, hari-hari kulalui dengan bermain bersama teman-teman dan sahabat-sahabatku, hingga bulan Ramadhan pun tiba. Bulan Ramadhan terakhir yang akan ku jalani sebelum aku melangkahkan kaki untuk menjalani hari-hariku selanjutnya di tanah kelahiran ayahku, Ponorogo-Madiun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta
SpiritualCinta adalah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam, untuk rela berkorban, tanpa mengharap imbalan apapun, dan dari siapapun kecuali imbalan yang datang dan diridhoi Allah. Cinta itu mestinya membahagiakan, bukan membuatmu sedih...