Empat hari setelah itu dia tidak lagi menghubungiku, dia tidak pernah lagi ke rumahku. Aku sempat menghubunginya, namun kata-kata yang dilontarkannya cukup menusuk hatiku. Kuputuskan untuk menenangkan hati dan pikiranku, membiarkan dia juga menjernihkan pikirannya.
Keesokan harinya aku mencoba untuk kembali menghubunginya, memintanya ke rumahku lagi untuk menjelaskan semuanya secara baik-baik. Aku tak peduli apa yang akan terjadi nanti, yang pasti aku hanya ingin menjelaskan semuanya agar tak ada salah paham diantara aku dan dia.
Semalam aku sempat menceritakan kejadian itu pada Kak Dany, sepertinya Kak Dany juga sedikit marah karena aku selalu terkesan memberi harapan pada Raeza. Namun bukan Kak Dany jika tanggapannya hanyalah sebatas oh, iyah, gapapa. Dia masih saja bersikap dingin.
Hari ini matahari bersinar begitu terik, keringatku mulai bercucuran saat kulihat wajahnya. Laki-laki itu menatapku tak bergeming sedikitpun, menatapku dengan tatapan tajamnya.
Raeza, dia sudah duduk dihadapanku beberapa menit yang lalu, lidahku masih kelu untuk berucap sepatah katapun, aku menundukkan pandangan, tak berani melihatnya lagi.
“Mau ngomong apa?” tanyanya memulai pembicaraan.
Tangan ku sedikit bergetar mendengar ucapannya yang dingin, dia tidak pernah bersikap sedingin itu padaku. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, menutup mataku dan menenangkan pikiranku.
“Ara minta maaf Za, kalau kamu berfikiran Ara ngasih harapan palsu ke kamu, sungguh Ara gak ada maksud itu ke kamu.” Ucapku sambil menatapnya.
“Iyah iyah, gapapa bukan salah kamu, mungkin akunya aja yang baperan.” Ucapnya sinis.
“Hp kamu mana? Kenapa gak dibawa?” tanyanya.
“Lagi di charger.” Jawabku.
“Bilang aja kalau kamu ngadu sesuatu ke dia, dan gak mau aku tau.” Ucapnya melirikku dengan tatapan tajam.
“Apa sih Za, kenapa kamu jadi gini ke Ara?” tanyaku tak suka.
“Ya udah bawa.” Perintahnya mengeras.
Tanpa menjawab ucapannya, aku langsung berdiri melangkah ke dalam rumah untuk mengambil ponselku. Beberapa menit kemudian aku kembali dengan ponsel yang berada di genggaman.
“Sini, gak usah dihapus-hapus.” Ucapnya sambil menengadahkan tangannya.
Dengan sedikit perasaan kesal aku memberikan ponselku padanya, dia terlihat mengotak-ngatik ponselku, di menit kemudian dia tersenyum sinis, dengan tatapan tajam dia melihatku.
“Kamu kenapa cerita ke dia?” ucapnya meninggi.
“Emang salah kalau aku cerita ke dia, selama ini aku selalu cerita apapun yang aku lakukan. Kenapa kamu ngomong gitu?” tanyaku sedikit ketakutan.
“Kamu yang kenapa? Kenapa kamu cerita ke dia tentang aku? Mau taruh di mana muka aku kalau aku ketemu dia?” tanyanya lagi.
Dia terus mencercaku dengan semua perkataannya, dia meluapkan semua kekecewaannya dan kemarahannya padaku. Aku membiarkannya begitu saja, aku memberikan ruang untuknya meluapkan semuanya padaku.
“Kamu tau gak? Aku udah sayang banget sama kamu, aku udah nyaman banget sama kamu. Tapi kenapa kamu kaya gini?” tanyanya.
“Aku gak nyangka kamu kaya gini, aku gak nyangka kamu bermuka dua, aku gak nyangka kalau selama ini kamu bersandiwara di depan aku, aku gak nyangka kamu pura-pura bahagia sama aku.” Ucapnya sedikit berbisik.
Aku terkejut mendengar ucapannya, mataku mulai memanas rasanya ada sesuatu yang memaksa untuk keluar dari mata. Seperti ada pedang yang menusuk tepat di jantung saat mendengar ucapannya itu.
“Kenapa kamu mikir aku pura-pura bahagia? Aku gak pernah pura-pura bahagia sama kamu. Aku bahagia sama kamu, aku bahagia ada kamu yang nemenin aku disaat temen-temen aku ngejauhin aku. Sekali lagi aku katakan sama kamu AKU GAK PERNAH BERPURA-PURA BAHAGIA SAMA KAMU, AKU SUNGGUH-SUNGGUH BAHAGIA SAMA KAMU.” Ucapku dengan penuh penekanan sambil menghapus air mata yang entah sejak kapan berhasil menerobos pertahananku.
“Kenapa dalam chat kamu itu kaya seakan-akan kamu mempertahankan aku dan dia?” tanyanya.
“Ya jelas aku mempertahankan dia, aku udah kenal dan deket sama dia dua tahun dan aku gak mau dia menghilangkan kepercayaannya ke aku, dia udah nunggu aku dua tahun dengan sabar. Aku juga mempertahankan kamu, aku belain kamu di depan dia, aku mulai berani bohong ke dia tentang rasa sayang aku ke kamu yang semakin bertambah, karena aku gak mau dia berfikiran macem-macem sama kamu. Aku tau dia guru kamu, aku gak mau kalau nanti seandainya dia ada perasaan tersakiti oleh kamu.”
“Aku memberanikan diri bohong ke dia tentang rasa sayang aku ke kamu, aku membiarkan dia membenci aku, bukan kamu. Aku biarkan diri aku bohong, agar suatu saat kalau dia tau tentang ini, dia bencinya sama aku bukan sama kamu.” Ucapku dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku sayang sama kamu Za. Aku gak pernah berpura-pura bahagia, aku selalu bahagia sama kamu, kamu buat aku ketawa saat aku sakit. Kamu tau aku sakit kenapa? Aku sakit saat ngeliat kamu bahagia dengan apa yang kamu yakini tentang aku itu adalah salah sedangkan aku gak pernah berani untuk jujur. Aku sakit saat kamu yang selalu coba buat aku bahagia tapi aku gak bisa ngebahagiain kamu, aku gak bisa bales perasaan kamu ke aku karena hati aku masih untuk dia.”
“Kamu jadikan aku pelampisan rasa sakit hati kamu karena dia?” tanyanya dengan sorot tajam.
“Pertanyaan ini yang selalu aku takutkan ketika aku akan jujur sama kamu. Aku takut kalau kamu akan berfikiran seperti itu. Aku gak mau kamu sakit hati, aku belum bisa bales perasaan kamu. Aku sayang sama kamu, sangat sayang, aku nyaman temenan sama kamu. Tapi aku gak bisa menghapus perasaan aku ke dia, aku udah terlanjur memberikan hati aku, kepercayaan aku, impian aku ke dia. Aku gak bisa Za, aku minta maaf kalau selama ini aku terkesan memberikan harapan ke kamu.” Jawabku sambil menundukkan kepala.
“Apa aku salah kalo aku berusaha membalas kebaikan kamu ke aku? Aku gak pernah bermaksud php-in kamu, aku nyaman temenan sama kamu, kamu baik, lalu apa pantas kalau aku mencampakkan kamu begitu aja setelah semua yang kamu berikan ke aku? Kalo harus bersumpah, aku sungguh sayang sama kamu, aku sungguh bahagia sama kamu yang selalu nemenin aku saat yang lain menjauh, aku sayang sama kamu tapi perasaan sayang aku tidak lebih dari sebatas teman.” lanjutku.
Aku tak sanggup lagi menahan air mataku, ia jatuh begitu saja sedari tadi. Aku mulai terisak dan menangis tersedu-sedu. Nafasku mulai sesak dibuatnya, jantungku berdetak dengan kencang, tubuhku melemas, rasanya sangat lelah padahal sedari tadi aku hanya duduk. Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa, aku mulai sulit bernafas, aku memejamkan mataku dan mengatur nafasku.
“Kamu kenapa?” tanyanya mulai melembut dan dengan nada sedikit panik.
“Dada Ara sesek, kamu pindah gih, Ara kan udah bilang jangan ngeroko deket Ara” Jawabku.
Terdengar tawaan sinis darinya, aku mengambaikannya aku yakin bahwa saat ini dia sedang berfikiran yang tidak-tidak. Kusandarkan tubuh di atas sofa itu, memejamkan mataku, dan mencoba mengatur nafas. Setelah dirasa mulai teratur aku duduk tegap kembali dan menatapnya.
“Kalau kamu gak percaya gapapa. Aku gak akan maksa, yang penting aku udah ngejelasin semuanya.” Ucapku.
“Aku pulang dulu.” Ucapnya beberapa menit kemudian, dia berpamitan pada orang tua ku dan melangkah pergi ke luar rumah.
Aku menghembuskan nafas, merasa sedikit lega meski ku tahu laki-laki itu akan marah padaku atau mungkin akan membenciku. Aku tak peduli yang penting aku sudah menjelaskan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta
SpiritualCinta adalah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam, untuk rela berkorban, tanpa mengharap imbalan apapun, dan dari siapapun kecuali imbalan yang datang dan diridhoi Allah. Cinta itu mestinya membahagiakan, bukan membuatmu sedih...