#13

938 19 0
                                    

Kak Dany   : Ra, Kak Dany mau ngomong sesuatu sama Ara

Agil Adara : Ngomong apa?

Kak Dany   : Ara siap dengernya? Ara gak akan gimana-gimana?

Agil Adara : Gimana-gimana apa? Kak Dany mau ngomongin apa, jangan bikin Ara penasaran

Kak Dany   : Hehe.., nanti malem aja deh

Agil Adara : Ihh.. gak lucu

Kak Dany   : Sabar sabar, hehe..

Siang itu dia begitu berbeda, tidak biasanya dia menunda-nunda pembicaraan, tidak biasanya dia membiarkanku dihantui rasa penasaran akan apa yang ingin dikatakannya.

Menit demi menit, jam demi jam berlalu, dan malam pun tiba. Pukul sembilan malam, dia menghubungiku. Rasa penasaran itu terus semakin menjadi, entah apa yang akan dibicarakannya, tapi itu cukup membuatku menjadi tidak nyaman.

Kak Dany   : Assalamu'alaikum..

Agil Adara : Wa'alaikumussalam

Kak Dany   : Lagi ngapain?

Agil Adara : Lagi nunggu Kak Dany ngomongin itu yang tadi siang

Kak Dany   : Apa?

Agil Adara : Ihh Kak Dany, apa? Jangan bikin penasaran

Kak Dany   : Hehehe.. Ara yakin mau dengerin?

Agil Adara : Iyah

Kak Dany   : Ara siap dengernya?

Agil Adara : Iyah iyah, apa?

Setengah jam berlalu tapi dia membisu, tidak ada pesan masuk lagi darinya. Perasaan yang semakin tidak karuan menghantuiku saat itu, pikiranku kini dipenuhi akan hal-hal negatif tentangnya.

Lama, sangat lama sekali, hingga ponselku akhirnya kembali berdering, Kak Dany, nama itu tertera pada layar ponselku.

Kak Dany  : Beberapa hari yang lalu, Kak Dany ke rumahnya Pak ustadz, Kak Dany bantuin Pak ustadz. Terus waktu Kak Dany lagi bantuin Pak ustadz sambil ngobrol-ngobrol gitu, tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan, Kak Dany ditanya sama Pak ustadz, katanya apa Kak Dany mau sama Sarah, gitu katanya. Intinya sih Kak Dany mau dijodohin sama Sarah

Aku tertegun saat membaca pesan yang dikirimkannya, entah apa yang kurasakan saat itu, entah balasan apa yang harus kukirimkan padanya. Berulang kali kubaca pesan itu, ku tarik nafas panjang dan kuhembuskan dengan sedikit kasar, mencoba membuang semua luka yang tak sengaja ditorehkannya.

Agil Adara : Kak Sarah?

Kak Dany   : Iyah

Agil Adara : Terus Kak Dany bilang apa?

Kak Dany   : Yah Kak Dany diem aja

“Kenapa Kak Dany gak nolak perjodohan itu?” pikirku.

Rasanya memang begitu menyakitkan, disaat orang yang aku sayangi bahkan sangat aku sayangi, orang yang telah mampu membuatku bermimpi dapat menghabiskan hari-hariku dengannya, akan dijodohkan dengan wanita lain. Tapi aku siapa? Apa hak ku terhadapnya?

Ku pejamkan mata sekejap, ku rasakan ada setetes air mata yang tidak dapat terbendung lagi. Kucoba tersenyum saat air mata itu terus mengalir dengan angkuhnya, memperlihatkan kerapuhanku, memperlihatkan kesakitanku, memperlihatkan segala kecewa dan luka yang mulai hadir di hati.

Agil Adara : Ohhh Kak Sarah

Kak Dany   : Iyah

Agil Adara : Kak Sarah baik, cocoklah kalau sama Kakak. Kalau Kak Dany mau nerima perjodohan itu gapapa Kak, Ara sih setuju-setuju aja, apalagi sama Kak Sarah, asalkan Kak Dany seneng, Ara juga pasti bakal seneng

Inikah rasanya sakit hati? Inikah yang dinamakan kecewa? Tapi mengapa harus perjodohan yang menjadi alasan? Aku tidak yakin jika Kak Dany akan menolak perjodohan itu. Bagaimana jika sebenarnya dia telah menerima perjodohan itu, namun dia masih tetap menyembunyikannya untuk menjaga hatiku? Allah aku sungguh ingin menyerah dengan ini.

“Seharusnya kamu tahu, aku terluka akan sikapmu selama ini. Aku bertambah terluka saat kamu mengatakan tentang hal itu.” ucap batinku.

Sejak saat itu, yang selalu aku pikirkan adalah apa Kak Dany akan menerima perjodohan itu? Apa aku bisa menerima keputusannya jika dia akan menikahi Kak Sarah? Dan masih banyak pertanyaan tentangnya yang menghantuiku.

Baru kali ini aku merasakan sakit yang teramat sakit, entah kenapa ucapannya yang selalu berusaha membuatku selalu percaya padanya, malah membuatku semakin ragu. Aku ragu jika dia memang benar-benar tidak berniat meninggalkanku untuk menikahi wanita lain, aku mulai ragu akan cintanya.

Air matapun rasanya tidak bisa kubendung disetiap malam ketika dia menghubungiku. Yang terbayang kini bukanlah senyumnya ketika bersamaku, melainkan bahagianya dia ketika bersanding dengan wanita lain. Apa aku akan sanggup melihatnya dengan wanita lain?

Kusembunyikan semua itu darinya, biarlah aku menyimpannya sendiri, apapun keputusannya nanti aku percaya itulah takdir terbaik yang telah Allah berikan. Allah akan menghadirkan bahagia untuk hamba-Nya pada waktu dan tempat yang seharusnya.

Dering telepon berkali kali berteriak memanggilku dari dunia mimpi siang itu. Kulihat tiga panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan masuk atas namanya tertera pada layar ponselku.

Dengan setengah kesadaran yang kumiliki aku membalas pesan darinya.

Kak Dany   : Tumben tidur siang, terus kok udah pulang sekolah?

Agil Adara : Iyah ada rapat guru katanya

Kak Dany   : Kok perasaan sekarang jadi dingin sih sikap nya

Aku menghembuskan nafas perlahan, menarik bibirku untuk menyunggingkan senyum walau hatiku tak terima.

Agil Adara : Kalo Ara boleh jujur, Ara cemburu karna Kak Dany dijodohin sama Kak Sarah. Tapi Ara gak tau alesannya kenapa

Kak Dany   : Hahaha.. Cemburu? Apaan sih, Kak Dany gak suka kok sama Sarah, Kakak juga gak deket sama Sarah, Kakak cuma nganggap dia murid Kakak aja, gak usah cemburu Kakak gak punya perasaan apa apa ke Sarah

"Tapi bukankah rasa itu akan muncul dengan sendirinya kalo Kakak membiasakan diri untuk dekat dengannya, mulai penasaran tentang pribadinya, tidak menolak saat dijodohkan dengannya? Entah apa yang membuat Ara yakin kalo suatu saat nanti perasaan Kakak itu akan berubah." ucapku dalam hati.

Agil Adara : Mmm.. Iyah

Tapi hatiku bukanlah dari bejana besi yang mampu menerima pukulan keras dari palunya, entah untuk alasan apa, hari-hari berlalu, aku memilih untuk mulai menjauhinya, belajar untuk mulai melupakannya, belajar untuk mulai tidak lagi bergantung padanya, belajar untuk memulai kehidupanku tanpa kehadirannya.

Aku juga perlahan membuatnya menjauhiku, aku perlahan mulai membuatnya membenciku meski ku tahu dia tidak akan pernah membenci siapapun, aku perlahan mulai membuat goresan luka dihatinya, semuanya aku lakukan untuk membuatnya membenciku dan menjauh dariku, dan semuanya aku lakukan tanpa alasan yang jelas dan masuk akal.

Entahlah, yang aku pikirkan saat itu adalah, aku hanya tidak ingin ketika perasaanku kepadanya semakin dalam, kita harus dipisahkan karena hadirnya orang lain yang mampu membuatnya jauh lebih bahagia. Aku tidak memiliki kesiapan untuk menerima luka yang lebih dalam, aku tidak memiliki kesiapan untuk menerima takdir bahwa aku harus merasakan kecewa dan luka olehnya.

Satu hal yang harus selalu ku percaya, jika dia adalah laki-laki yang merelakan tulang rusuknya untukku, yang namanya telah tertulis di Lauhul Mahfuz sebagai imamku, pendamping hidupku, suatu saat nanti, saat waktunya telah tiba Allah akan mempersatukan aku dan dia dengan cara-Nya yang jauh lebih indah dari apa yang aku bayangkan.

Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang