"Kamu itu kapan sih banggain Ibuk sama Bapak? Kerjaannya buat yang aneh-aneh terus, mbok kaya masmu itu yang sekarang udah jadi mahasiswa, pakai beasiswa lagi!"
Suara omelan khas Ibu yang tengah menjemur pakaian dan presensi adiknya yang berdiri dengan satu kaki dan kedua telinga dijewer sendiri sudah menjadi makan siangnya kalau dia tidak memiliki kelas hingga sore. Yudhistira menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat mulut adiknya yang bernama Arjuna berkomat-kamit menirukan omelan Ibu.
"Jangan suka mipili ucapan orang tua." Yudhistira menghampiri Arjuna dan mengacak gemas surai hitamnya membuat Arjuna mengumpat karena kehilangan keseimbangan.
"Hari ini Juna ngapain, Buk?" Yudhistira bertanya sembari melepas sepatunya, menatap Arjuna yang masih menggerakkan mulutnya tanpa suara dan menyeimbangkan tubuhnya.
"Kamu kan pakai jam tangan, Yudh. Cek jam berapa sekarang?"
"Jam 1 lebih seperempat, Buk. Kenapa? Yudhis telat makan bareng?" Yudhistira menatap Ibu yang baru selesai menjemur dengan tatapan bingung, dia berdiri membantu Ibu mengangkat keranjang yang sudah kosong, sedangkan Ibu mendekati Arjuna dan langsung memberi pukulan di pantat Arjuna yang membuat Arjuna jatuh terjungkal ke depan.
"Ibuk jahaaat!" Arjuna merengek membuat Yudhistira tersenyum, wajah kesal dan kusut adiknya selalu berhasil membuat suasana hatinya membaik.
"Kamu yang jahat sama Ibuk, ganti baju sana! Siapin makan siang, sebentar lagi Bapak pulang dari pasar." Ibu berkacak pinggang sedangkan Arjuna mengerucutkan bibirnya dan bangkit dari posisi terjungkalnya.
"Ibuk mau tahu nggak?" Arjuna mendekatkan wajahnya ke wajah Ibu yang berpeluh dan mulai keriput, Arjuna menghela napas panjang sedikit menyesal membuat wajah Ibu yang mulai menua menjadi memerah karena memarahinya.
"Juna sayang Ibuk!" Satu kecupan Arjuna tinggalkan di pipi kanan Ibu dan remaja 16 tahun itu langsung berlari melewati Yudhistira dan langsung masuk ke dalam rumah sederhana mereka.
Meninggalkan Ibu yang menghela napas panjang dan Yudhistira yang terkekeh karena melihat Ibu yang wajahnya semakin memerah.
"Jadi ... hari ini Juna berbuat ulah apalagi,Buk?" Yudhistira bertanya sembari merangkul Ibu yang bahunya terlihat lesu.
"Tanya aja sama Juna ... adikmu itu benar-benar, Ibuk nggak bisa marah lagi sama dia." Ibu menjawab dengan lesu, sedangkan Yudhistira terkekeh sembari mengelus lembut bahu Ibu.
"Mas! Buk! Makanannya udah siap!"
Suara Arjuna membuat Yudhistira menuntun Ibu melangkah lebih cepat, Yudhistira menatap berbinar hidangan di meja makan.Setelah meletakkan keranjang kosong di bagian belakang, Yudhistira memposisikan diri di kursi, rasanya sudah tidak sabar untuk memakan semua hidangan.
"Ibuk masak ayam tepung hari ini?" Yudhistira bertanya saat melihat presensi ayam tepung kesukaan Arjuna di meja makan.
"Ibuk cuma masak ayam buat dijual, Yudh." Ibu menjawab sembari memijat keningnya pelan.
"Aku yang beli, Mas." Arjuna menjawab sembari memposisikan diri di belakang Ibu dan memijat bahu Ibu pelan, pemandangan itu membuat Yudhistira tersenyum. Pantas saja kalau Ibu selalu bilang kepadanya kalau tidak bisa marah lama-lama kepada Arjuna.
"Jadi, alasan kamu bikin masalah apa?"
"Aku sama sekali nggak merasa bikin masalah, kenapa mas nggak coba tebak? aku bikin masalah apa?"
"Memangnya kamu ngapain sampai buat Ibuk marah?" Yudhistira pada akhirnya penasaran juga, karena baik Ibu mau pun Arjuna tidak memberitahunya secara gamblang.
"Itu ada jam dinding besar, kamu harusnya tahu bahkan hanya melihat jam dinding, Yudh."
"Apa hubungannya sama jam coba? Tolong ... kasih Yudhis penjelasan yang jelas." Yudhistira frustrasi membuat Ibu menghela napas panjang, sedangkan Arjuna sudah tertawa dengan tangan masih memijat kedua bahu Ibu.
"Ini masih jam sekolah, Yudh."
"Oh iya! Terus kenapa Juna udah di rumah?" Yudhistira bertanya sembari menatap tajam Arjuna hingga detik kemudian mata Yudhistira membulat.
"Kamu bolos, Jun?"
"Iya, Mas. Habis aku pusing sama pelajaran matematika dan belajar matematika di siang panas ini bukan ide bagus untuk hidup lebih lama."
"Jun, kamu itu yaaa ...." Yudhistira baru saja akan mengomeli Arjuna dan Ibu sudah menutup kedua telinganya karena tidak ingin mendengar argumen mengesalkan lagi dari Arjuna dan omelan yang sama yang bahkan Ibu hafal. Kalimat Yudhistira terhenti karena Arjuna yang sudah lebih dulu berlari ke luar setelah mendengar suara motor Bapak.
"Bapak pulang!" Arjuna berseru dengan semangat dan berlari keluar untuk menyambut kedatangan Bapak.
"Jun!kamu itu kalau dinasehati jangan kabur!" Yudhistira berkacak pinggang, sedangkan Ibu sudah pening mendengarnya.
"Udah! Mau kamu ceramahin lagi juga percuma, mending bantu Bapak angkat barang sana." Ibu mendorong punggung Yudhistira lembut, sedangkan dia ke belakang untuk membuatkan minuman untuk Bapak.
Yudhistira mengangguk, melupakan amarahnya untuk sejenak, lagipula sekarang bukan saatnya untuk melakukan tindak ceramah kepada Arjuna, Arjuna sudah mendapat ceramah di sekolah dan Yudhistira harus memikirkan cara lain untuk berbicara baik-baik dengan Arjuna.
"Pak, tahu nggak ... Juna sayang banget sama Bapak, nih sampai Juna bela-belain bolos biar nggak kehabisan ayam tepung buat Bapak." Arjuna kembali memberikan kalimat rayuan sembari meletakkan ayam tepung paling besar dan merupakan bagian kesukaan Bapak ke piring Bapak, membuat Ibu dan Yudhistira yang melihatnya geleng-geleng kepala.
"Tapi yang namanya bolos juga bukan hal yang benar, Jun." Bapak berusaha sabar, laki-laki itu ingin marah namun sepertinya percuma karena kenakalan Arjuna sudah mendarah daging sejak kecil.
"Yaudah, gimana kalau jangan pakai kata bolos aja?"
"Terserah kamu deh, sekarang yang terpenting adalah makan siang dulu, setelah makan siang bantuin Ibuk beres-beres rumah dan jangan ganggu Ibuk, Bapak sama Mas Yudhis di dapur, Arjuna paham?"
"Siap kapten!" Arjuna memperlihatkan senyuman lebarnya membuat Bapak mengusak gemas rambut Arjuna.
"Arjuna pimpin doa yaa." Kali ini adalah suara Ibu yang mengalun lembut dan menenangkan.
Yudhistira tersenyum saat melihat dan merasakan kehangatan keluarganya, yang terkadang penuh konflik karena kenakalan kecil yang dibuat Arjuna.
Yudhistira tidak menyesal lahir di keluarga sederhana ini, tumbuh menjadi seorang kakak bagi seorang adik bandel seperti Arjuna dan tumbuh menjadi seorang anak yang bisa dibanggakan oleh sepasang orang tua yang mulai renta yang bahkan tidak mengenyam bangku kuliah karena biaya yang tidak ada.
Yudhistira setidaknya bisa bernapas lega karena biaya kuliahnya saat ini sudah sepenuhnya beasiswa, sekarang yang menjadi tugas untuknya adalah membuat Arjuna membanggakan Ibu dan Bapak.
Nilai
KAMU SEDANG MEMBACA
Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSION
General FictionSetahu Arjuna, nilai itu cuma angka 10 sampai 100. Atau Sebenarnya, angka itu berharga untuk orang lain. Angka 10 sampai 100 yang muncul di kertas ujian.