Arjuna sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah beberapa jam berada di ruang intermediate care untuk dilakukan observasi hingga dokter yang menangani memutuskan bahwa Arjuna harus dirawat inap untuk beberapa hari agar bisa mengontrol perkembangannya.
Bapak sendiri sudah setuju dan mungkin itu lebih baik dari pada memaksa rawat jalan dan Arjuna malah bertambah parah. Selama pemeriksaan Arjuna sempat beberapa kali terbangun meskipun tidak membuka matanya karena masih merasakan pusing hebat hingga dokter memutuskan untuk menginjeksikan obat pereda nyeri ke tubuh Arjuna dan Arjuna terlelap begitu tenang dengan napas yang mulai teratur dan kembali pada ritme normal.
Vonis anemia yang dikatakan dokter benar-benar membuat Bapak merasa takut, meskipun merasa lega karena Arjuna yang kata dokter sangat membutuhkan transfusi kini berangsur membaik.
Bapak menggenggam tangan Arjuna yang masih terasa dingin, tekanan darah Arjuna juga masih rendah meskipun tidak serendah saat pertama kali dibawa ke rumah sakit, napas Arjuna teratur karena adanya selang oksigen yang membantu pernapasan dan dua jarum infus yang mendiami lengan kiri Arjuna yang berisi cairan dan darah.
Bapak kemudian mengingat kembali kalimat dokter tentang kondisi tubuh Arjuna setelah dilakukan chek up keseluruhan.
"Paru-parunya tidak bisa dikatakan baik, ada peradangan di sana sehingga memperburuk kondisinya tadi, sedangkan anemianya masih belum masuk tahap serius meskipun tadi tubuhnya benar-benar drop, untuk peradangan di paru-parunya bisa dirawat jalan dengan check up satu minggu sekali."
Bapak menghela napas panjang, berjanji akan menyimpannya sendiri saja, menyimpan semua ketakutannya sendiri, pandangan Bapak beralih kepada Yudhistira yang memilih duduk termenung di kursi di sebelah ranjang, tangan Yudhistira menggenggam erat tangan Arjuna yang masih terjepit oksimeter. Bapak tentu ingat, bagaimana suara gaduh dan lengkingan itu sama persis dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi, seruan tentang gagal jantung benar-benar membuat Bapak nyaris kehilangan akal kalau saja tidak ingat bahwa ada Yudhistira yang harus dikuatkan.
"Ada beberapa hal yang kami khawatirkan tentang komplikasinya, yaitu jika penyebab peradangan atau infeksi itu merembet ke jantungnya. Tapi, jika dilihat dari kondisinya sekarang, kemungkinan itu menjadi sangat kecil namun kembali lagi bahwa keputusan nasib seseorang berada di tangan Allah."
Bapak menarik napas panjang, rasanya menyesakkan di saat hanya dia satu-satunya yang tahu tentang kondisi Arjuna. Kedatangan Ibu dan kebohongan yang Bapak utarakan tentang Arjuna membuat Bapak merasakan napasnya menjadi sesak.
"Juna mengalami anemia dan paru-paru basah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mungkin karena tubuhnya juga drop sehingga bisa terlihat parah." Bapak membawa Ibu dalam rangkulannya lantas mencoba untuk menjadi kuat bersama-sama.
Ibu tidak bodoh, pelukan Bapak adalah bukti bahwa Bapak minta dikuatkan, meskipun Ibu belum tahu apa yang membuat Bapak merasa begitu lemah, Ibu tahu sesuatu itu pasti menyangkut Arjuna, mengingat betapa dekatnya Bapak dengan Arjuna, berbeda dengan Yudhistira yang lebih dekat dengannya meskipun sebenarnya porsi kasih sayang itu sama, namun Yudhistira lebih sering bercerita kepada Ibu dibanding Bapak meskipun beberapa waktu memilih konsultasi kepada Bapak dan Ibu.
Arjuna membuka matanya pelan, kemudian meringis saat merasakan tidak nyaman di tubuhnya. Meskipun tidak sepenuhnya sadar namun Arjuna tahu apa saja yang sudah dilakukan dokter ke tubuhnya.
Rasa kebas di kedua tangannya, perih di hidungnya dan suara berisik yang semakin terdengar jelas seiring dengan menjelasnya wajah Ibu yang menatapnya dengan senyum kelegaan membuat Arjuna yakin bahwa di tubuhnya terpasang alat-alat aneh yang tidak dia tahu fungsinya.
Ibu mencium kening Arjuna berulang kali, mengusapnya lembut sembari mengucapkan dzikir. Arjuna masih diam saat dokter menempelkan stetoskop di dadanya.
"Arjuna masih pusing?" dokter bertanya dengan mengulaskan senyumannya dan kembali menginjeksikan obat ke tubuh Arjuna.
"Lemes." Arjuna menjawab dengan suara parau dan lirihnya.
"Wajar untuk orang yang tidur selama 3 hari." Jawaban dokter yang terlalu santai membuat mata Arjuna membola, sedangkan Ibu mengulaskan senyum sembari mengelus lengan Arjuna lembut.
"3 hari?"
"Iya, kondisimu naik turun sehingga saya memutuskan untuk membuatmu istirahat dengan obat tidur, kalau boleh tahu sejak kapan kamu merasakan sakit dan sesak napas?" laki-laki paruh baya itu mengulas senyumannya, kembali menuntun stetoskopnya menjelajahi bagian dada Arjuna.
"Dua mingguan, saya tidak begitu ingat."
"Kamu hebat bisa menahannya, tapi efeknya buruk karena infeksi di paru-paru kamu jadi memburuk, kemarin kamu sempat mengalami gagal napas karena terjadi efusi pleura, kamu koma selama 1 jam setelah mengalami serangan jantung, paru-parumu bandel sekali selama 1 jam itu, membuatmu tersiksa dengan selang ventilator."
"Jangan mengarang bebas deh, dokter buat Ibuk saya takut dan nangis." Arjuna merengut, sedangkan sang dokter hanya terkekeh.
"Tahu saja kalau saya hanya membual."
"Anda membuat berita palsu, seharusnya tidak usah menjadi dokter saja."
"Biasanya pasien saya suka tegang, tapi kamu benar-benar beda. Saya salut sama kamu, tapi yang soal 3 hari kamu tidur itu benar yaa, karena tekanan darahmu terlalu rendah sehingga kamu terlalu pusing untuk membuka mata."
"Iya, dan saya tambah pusing mendengar Anda berceloteh."
"Dua jam lagi saya akan ke sini untuk membawamu melakukan pemeriksaan, saya minta sampel darah kamu dulu yaa, dan meskipun tidak nyaman sangat tidak disarankan melepas selang oksigen dan infus dan juga tetaplah berbaring sampai saya kembali nanti." Dokter paruh baya itu kemudian menatap Ibu yang memandang Arjuna dengan raut khawatir.
"Untuk saat ini kondisi Arjuna sudah lebih baik, tekanan darahnya juga mulai naik begitu pun dengan saturasi oksigen di dalam darahnya. Ibu tenang saja, setelah anak Ibu sembuh nanti dengan berbagai treatment pengobatan, saya akan pastikan bahwa anak Ibu tidak lagi bertemu dokter menyebalkan seperti saya ini."
"Terima kasih, dokter. Sudah berjasa menjadi penyambung hidup anak saya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dunia saya jika kehilangan anak bandel saya ini."
"Arjuna akan segera sembuh dan menjadi anak bandel Ibu lagi, saya pamit dulu, saya akan kembali dua jam lagi." Dokter paruh baya itu berpamitan sembari membawa sampel darah Arjuna, meninggalkan Arjuna yang kembali memejamkan mata karena merasakan pusing dan Ibu yang mengelus lembut lengan Arjuna.
TBC
Say Something, Please?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSION
General FictionSetahu Arjuna, nilai itu cuma angka 10 sampai 100. Atau Sebenarnya, angka itu berharga untuk orang lain. Angka 10 sampai 100 yang muncul di kertas ujian.