Yudhistira tersenyum saat melihat Arjuna tengah berbaring dengan ponsel di tangannya, posisi yang sama dengan malam yang mengesalkan itu. Hari ini dia pulang lebih cepat karena tidak ada agenda rapat atau diskusi yang memang menyita banyak waktu istirahatnya.
"Tumben nggak main bola?" Yudhistira sengaja menduduki kaki Arjuna dan membuat Arjuna langsung bangun dan mengumpat kesal, Yudhistira sendiri terkekeh rasanya sudah lama sekali tidak melihat wajah kesal Arjuna.
Wajah kesal Arjuna membuat Yudhistira membawa Arjuna dalam rangkulannya dan memeluk Arjuna gemas.
"Mas kangen banget sama kamu, udah lama nggak debat sama kamu."
"Apaan sih! Jangan peluk-peluk! Aku masih sangat normal!" Arjuna melepaskan pelukan Yudhistira sembari bersungut-sungut, kemudian kembali memainkan gamenya.
"Kenapa kamu bawa buku ke ruang tengah sebanyak ini kalau pada akhirnya kamu malah ngegame?"
"Baru buka aja udah pusing aku, Mas."
"Kamu nggak niat buat dapat nilai bagus gitu?"
"Nilai Cuma angka 10 sampai 100 mas, dikit itu kalau dijadikan uang, mending main game aku bisa dapat skor lebih dari seratus ribu, 10 sampai 100 mah gampang." Jawaban Arjuna membuat Yudhistira memukul kening Arjuna.
"Sakit tahu! Ganggu konsentrasi aja, nanti nggak dapat skor tertinggi."
"Harusnya kamu memiliki ambisi itu buat ngejar nilai di sekolah, bukan buat game yang nggak tahu manfaatnya buat apa."
"Nggak ada bedanya mas, ambisi di game sama ambisi di sekolah. Bagiku, baik sekolah atau game sama aja, sama nggak bergunanya."
"Siapa yang bilang nggak berguna? Buktinya dengan nilai tinggi mas bisa dapat beasiswa dan bisa kuliah dengan gratis, bahkan kuliah sama sekali nggak ada di pikiran mas waktu SMA."
"Jadi, niat mas kuliah apa? Ngejar IPK tinggi? Biar dapat pujian?"
"Mas kuliah biar bisa dapat kerjaan yang lebih baik."
"Orang nggak kuliah bisa kerja kok, banyak malahan dan sarjana yang nganggur juga banyak, kalau niat mas kuliah buat nyari kerja maka otomatis mas akan nyesel udah kuliah saat nggak dapat kerjaan yang mas pengen?"
"Yaa ... di mana-mana orang berpendidikan lebih tinggi lebih diutamakan, derajatnya lebih tinggi dan kerjaannya pastinya lebih bergengsi."
"Mas merasa terdidik nggak selama ini?"
"Tentu aja! Tugasnya pendidik kan emang mendidik."
"Terus kenapa mas selalu ngelak kalau aku minta bantuan ngerjain tugas? Padahal mas dulu pinter, nilainya tinggi, bahkan kita satu SMA mas, guru yang ngajar sama. Itu artinya pelajaran itu nggak membekas sempurna, nilai mas emang sempurna tapi setelah penilaian itu mas lupa sama pelajarannya, bukan nilai yang penting mas, tapi ilmunya dan banyak orang yang terjebak di perspektif itu." Arjuna masih melanjutkan gamenya dan berseru ketika dia memenangkannya.
"Ngomongin soal derajat, anak PAUD aja derajatnya udah tinggi padahal baru mengenal huruf dan angka, Allah sendiri yang ngangkat derajat manusia saat manusia itu menuntut ilmu, derajat yang parameternya hanya Allah yang tahu. Parameter manusia itu bisa salah, tapi nggak sepenuhnya salah. Oh iya, mas pernah nggak dengar dalil yang berhubungan dengan nilai? pasti bunyinya tuntutlah ilmu bukan tuntutlah nilai." Arjuna mengakhiri argumennya dengan cengiran apalagi saat melihat Yudhistira terdiam begitu lama.
"Mas, oke kan? Apa pembicaraannya terlalu berat? Yaa maaf habis baca buku di perpus kota tadi pagi tiba-tiba aku dapat pencerahan."
"Tumben rajin ke perpustakaan segala, pagi-pagi lagi."
"Iya, pagi-pagi ... karena waktu pagi adalah waktu yang tepat untuk menerima ilmu baru." Arjuna berkata dengan bangga, sedangkan Yudhistira kembali terdiam kemudian menatap Arjuna yang sedang memainkan gamenya.
"Kamu bolos lagi?" Yudhistira berteriak kaget dan itu membuat Arjuna mengerang karena kalah akibat terkejut oleh suara Yudhistira.
Sore itu pergulatan antara Arjuna dan Yudhistira tidak bisa dihindari dan itu membuat Bapak dan Ibu yang akan menyiapkan dagangan tersenyum, meskipun mendengar bahwa Arjuna membolos lagi bukan lah hal yang enak didengar.
Arjuna sendiri tertawa saat Yudhistira tidak berhenti menggelitikinya, tawa itu begitu lepas seolah beban yang selama ini dipikulnya hilang tanpa jejak.
Arjuna senang, Yudhistira mau mengajaknya bertengkar lagi, dia senang karena kondisi keluarganya membaik.
Semua yang dia jalani selama ini membuat Arjuna sadar, bahwa tidak ada keluarga yang sempurna tanpa masalah dan Arjuna hanya berharap bahwa sebesar apa pun masalah itu, dia bersama keluarganya bisa menghadapinya dengan sabar dan tetap kuat.
Arjuna tidak akan meminta keluarganya akan dijauhkan dari masalah, karena dengan masalah itu Arjuna tumbuh dewasa, dengan masalah itu kedewasaan seseorang akan bertambah, dengan masalah itu kesabaran seseorang akan diuji, dan Arjuna hanya ingin lulus dengan baik di ujian hidup tentang masalah.
Lagi pula, tidak ada kata mantan keluarga di dunia ini.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSION
General FictionSetahu Arjuna, nilai itu cuma angka 10 sampai 100. Atau Sebenarnya, angka itu berharga untuk orang lain. Angka 10 sampai 100 yang muncul di kertas ujian.