Yudhistira mendesah kesal begitu sampai di rumah, hujan membuatnya basah kuyup dan hari ini terasa sangat melelahkan ditambah dengan guyuran hujan yang menambah rasa kesal di hatinya.
Sosok Arjuna yang tengah berbaring di sofa sembari memainkan game di ponsel dan Sapi yang melengkung nyaman di perut Arjuna adalah hal yang pertama kali Yudhistira lihat saat masuk rumah. Meja yang berada di depan TV yang menyala sudah dipenuhi buku-buku pelajaran Arjuna yang terbuka dan memperlihatkan hasil karya Arjuna, bukan jawaban dari soal-soal melainkan gambar abstrak yang entah kenapa membuat Yudhistira merasa kesal.
Ini memang sudah satu bulan hubungan kakak beradik itu agak merenggang karena kesibukan Yudhistira sejak menjadi pengurus BEM.
"Jun! Bisa nggak sih kamu rapi dikit? Dan sedikit tahu diri?" Yudhistira tidak tahu dari mana asal kalimat itu namun hari ini Yudhistira benar-benar merasa sangat kesal.
"Masuk rumah itu aturannya ucap salam, Mas. Bukan langsung ngomel nggak jelas." Arjuna membalas dengan mata masih fokus dengan layar ponselnya.
"Kalau ngomong itu yang sopan!" Yudhistira memilih merebut ponsel dari tangan Arjuna dan itu membuat Arjuna langsung bangkit dari posisinya, matanya menatap kesal kepada Yudhistira yang mengganggunya.
"Yang nggak sopan di sini itu sebenarnya siapa?" Arjuna memberanikan diri menatap Yudhistira, tidak mempedulikan Sapi yang terbangun karena perubahan posisi mendadaknya.
"Jawabannya itu cuma satu, kamu!" Intonasi Yudhistira meninggi, telunjuknya menunjuk Arjuna yang masih memasang wajah datarnya.
"Kamu tahu nggak sih? Bapak dan Ibuk itu lagi kerja buat kamu! Buat hidup kamu! Rela hujan-hujanan dan basah-basahan demi kamu! Capek demi kamu! Dan apa ini? kamu malah nggak tahu dirinya berantakin rumah, kamu nggak kasihan sama Ibuk? Kalau kamu cukup tahu diri, belajar! Bukan cuma mainan hp, Bapak beliin kamu hp bukan buat dimainin dan bikin kamu lupa diri! Tapi buat bantu belajar kamu!"
Napas Yudhistira tersengal karena berbicara dengan emosi yang menguasai, sedangkan Arjuna wajahnya juga merah menahan marah, jujur saja mood Arjuna juga sedang tidak baik.
"Bedanya sama mas apa? Mas sekarang udah nggak bantu Bapak sama Ibuk lagi, asik sama dunia mas sendiri bahkan udah jarang ada buat aku, bedanya aku sama mas apa?"
"Setidaknya aku udah buat mereka bangga! Nggak nyusahin kayak kamu! Kamu tahu nggak kenapa aku setuju pas temenku minta aku buat jadi pengurus? Karena aku muak sama kamu! Capek tahu ngadepin kamu! Capek ngadepin Bapak dan Ibuk yang selalu nuntut aku buat jagain kamu yang bahkan nggak pernah ngasih kebanggaan buat mereka selain masalah! Masalah! dan masalah!"
Kalimat demi kalimat itu terlontar dari mulut Yudhistira membuat Arjuna terkejut dan hanya mampu diam tanpa suara.
"Udahlah, aku capek!" Yudhistira memilih berlalu menuju kamarnya dan menutup pintu kamarnya kasar hal itu membuat Arjuna menghela napas panjang kemudian melirik lantai yang basah karena Yudhistira.
Kekesalan yang ditunjukkan Yudhistira membuat Arjuna mengingat kembali percakapan Bapak dan Ibu tentang keuangan keluarga yang tengah menurun karena cuaca yang tidak menentu.
"Sapi ... aku cuma beban yaa buat mereka?" Arjuna memilih duduk sembari mengelus bulu-bulu halus Sapi yang tengah mencari kehangatan karena dinginnya suhu.
"Aku belum bisa banggain Bapak dan Ibuk, tapi apakah hanya nilai yang bisa buat mereka bangga dan bisa sejajar sama apa yang udah Mas Yudhis lakuin?" Arjuna menghela napas panjang kemudian menatap ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama salah satu teman sekolahnya, temannya yang selama ini membantunya mengelola bisnis tersembunyinya.
"Hallo? Oke, barangnya udah di basecamp, tinggal kirim aja ke customer." Arjuna meletakkan kembali ponselnya kemudian menerawang langit-langit ruangan yang terlihat kusam karena dimakan waktu.
"Sapi, apakah hanya nilai dan prestasi yang bisa membuat orang tua bangga? Padahal keduanya adalah hal semu yang sementara, kalau Sapi gimana? Apakah Bapak dan Ibukmu bangga punya anak seperti kamu? Akh ... maaf Sapi, aku lupa kalau kamu nggak tahu Bapak dan Ibuk kamu di mana."
Arjuna menyengir tanpa dosa membuat Sapi mengeong pelan kemudian kembali memposisikan tubuhnya di pangkuan Arjuna.
Arjuna hanya merasa bahwa sejak malam di mana dia menangis kecewa saat Yudhistira memutuskan menjadi pengurus BEM, semuanya berbeda dan sekarang terlampau berbeda.
Namun, Arjuna hanya ingin bersikap seperti biasanya, seperti orang bodoh yang tidak mengerti tentang permasalahan keluarganya, Arjuna hanya ingin semuanya tetap baik-baik saja.
____
Sejak malam itu, sikap Arjuna tidak berubah dan hal itu membuat Yudhistira mengurungkan niatnya untuk minta maaf. Yudhistira sendiri tidak mengerti kenapa dia bisa merasa sangat kesal di hari itu, namun Yudhistira bersyukur karena Arjuna tetap bersikap biasa kepadanya, tetap bersikap mengesalkan kepadanya dan semua tentang Arjuna yang melekat kuat dan menjadi cetak biru di ingatannya.
Bapak dan Ibu sendiri terlihat biasa, meskipun raut lelah terlihat di wajah mereka, bahkan hanya dengan melihat menu makan yang sama dengan apa yang mereka jual membuat Yudhistira yakin bahwa musim hujan kali ini berat untuk mereka lewati.
"Jun, Sapi udah dikasih makan?" Pertanyaan Ibu membuyarkan lamunan Yudhistira tentang tingkah Arjuna, Yudhistira sendiri melirik Arjuna yang terlihat tidak mendengar pertanyaan Ibu karena sIbuk menyuapi Sapi dengan menu sarapan mereka pagi ini.
"Sapi udah makan sama Juna, Buk." Yudhistira yang menjawab dan jawaban itu membuat Bapak dan Ibu yang tadinya fokus dengan makanan kini sama-sama melihat ke arah Arjuna yang tengah menunduk memberi makan Sapi dengan jatah sarapannya.
"Juna! Kamu itu mbok mikir sedikit gitu lho? Kotor!" Ibu berkacak pinggang saat tahu kelakuan Arjuna yang memberikan jatah sarapan kepada Sapi.
"Juna nggak nafsu makan, lagi sariawan, sakit buat makan."
"Jangan gitu, kamu coba lihat yang kena bencana alam, makan pakai nasi aja udah syukur." Yudhistira mencoba menasehati, sedangkan Arjuna terlihat tidak ingin menanggapi atau membantah.
"Udahlah! Nanti kalau lapar makan sendiri kok." Bapak menengahi meskipun tatapannya tidak lepas dari Arjuna yang tengah kegirangan sendiri berinteraksi dengan Sapi.
Hal itu membuat Bapak merasa hatinya sakit, saat putra bungsunya lebih suka dengan hewan peliharaannnya dibanding keluarganya. Bapak memandang Ibu dan Yudhistira yang terlihat kesal, sedangkan Arjuna masih menunduk dalam dan hanya dalam sekali lihat Bapak tahu kalau Arjuna juga tengah menahan rasa kesalnya.
Bahkan meskipun Arjuna berlalu dari meja makan dan menghilang di balik pintu kamar mandi, Bapak tahu kalau keadaan Arjuna sedang tidak baik.
Kemampuannya mengamati gerak-gerik seseorang membuatnya menyimpulkan bahwa Arjuna tengah menahan sesuatu dalam dirinya, Bapak melirik Sapi yang sekarang mendusel-dusel kakinya. Sapi pasti tahu lebih banyak apa yang dirasakan oleh Arjuna.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSION
Ficción GeneralSetahu Arjuna, nilai itu cuma angka 10 sampai 100. Atau Sebenarnya, angka itu berharga untuk orang lain. Angka 10 sampai 100 yang muncul di kertas ujian.