Klarifikasi dan Hadiah dari Sapi

2.6K 424 17
                                    

Canggung. 

Sejauh ini belum pernah Yudhistira bersikap secanggung ini saat bersama Bapak . Masalah semalam seolah berbuntut hingga sekarang karena baik Yudhistira mau pun Bapak, masih belum membuka pembicaraan hangat seperti biasanya. Baik Yudhistira mau pun Bapak, mengharapkan kehadiran Ibu dan Arjuna di meja makan. Namun, rasanya tidak mungkin terjadi karena Arjuna yang kembali demam tinggi dan Ibu menemani Arjuna di kamar. 

Yudhistira bersumpah bahwa tidak ada suasana yang lebih canggung dari ini, hingga Yudhistira mengingat suatu hal yang selalu Arjuna lakukan saat Bapak atau Ibu akan marah. 

Tangan Yudhistira terulur untuk mengambil bagian ayam terbesar bersamaan dengan Bapak yang menyendok sayur buncis masakan Ibu. Keduanya terdiam saat merealisasikan keinginan mereka. Bapak yang menambahkan sayur di piring Yudhistira dan Yudhistira yang menambahkan ayam paling besar di piring Bapak. Tatapan keduanya bertemu dan suasana canggung itu kembali. Ibu dan Arjuna yang mengintip dari ruang tengah menghela napas panjang,rasanya sudah tidak sabar melihat Bapak dan Yudhistira berbaikan. 

"Maafin Bapak/Yudhis." Kalimat itu terlontar bersamaan membuat suasana menjadi semakin canggung dan aneh. 

"Maaf karena sudah nampar kamu, Bapak hanya khawatir kalian berdua kenapa-napa, berita dan kasus klitih sedang banyak akhir-akhir ini."

"Salah Yudhis juga nggak ngasih tahu Bapak dan bikin Bapak khawatir." Yudhistira menghela napas panjang, kembali memberanikan diri menatap bapak.

"Tapi soal Juna yang sakit, apakah itu bener? Bukannya kemarin Bapak bilang Dokter Cipto sudah nyatain kalau Juna sembuh?" Pertanyaan Yudhistira membuat Bapak menghela napas panjang. 

Arjuna dan Ibu mendengarkan dengan perasaan tidak menentu, Arjuna sendiri tidak begitu penasaran karena dia merasakan sendiri, berbeda dengan Ibu yang masih ingin mengulik rahasia yang Bapak sembunyikan.

 "Adikmu kan baru sembuh, Bapak cuma takut kambuh lagi penyakitnya dan tahulah meskipun di sini kelihatan tenang, tapi kejahatan seperti klitih nggak bisa dipungkiri lagi. Bapak nggak bisa kehilangan kalian berdua." Bapak menghembuskan napas panjang setelahnya, sedangkan Yudhistira termenung. 

Rasa sakit itu bukan karena panasnya tamparan Bapak di pipinya, tapi kalimat Bapak yang menyalahkan diri sendiri, lirihan Bapak yang memintanya balas menampar adalah satu-satunya hal yang menyakitinya saat itu. 

"Pak, jangan pernah minta ke Yudhis buat balas semua perbuatan Bapak. Dibanding sebuah tamparan, kalimat Bapak tadi malam lebih menyakitkan. Bapak bukan ayah yang gagal, tapi kami sebagai anak yang gagal membuat Bapak menjadi lebih berarti. Kami menghormati Bapak, tapi bukan berarti kami hanya diam dan pasrah saat Bapak sedang berbuat salah, aku paham kenapa Juna bisa selantang itu melawan ucapan Bapak." Yudhistira menghela napas panjang. 

"Pak, jangan menutupi lagi."





"Buk. Dari Bapak, aku belajar sesuatu tentang makna kedewasaan. Bahwa parameter dewasa bukan lah seberapa lama kita hidup di dunia, seberapa banyak pengalaman yang kita punya, atau seberapa banyak masalah yang sudah kita selesaikan. Parameter itu sebenarnya sederhana, bagaimana sikap kita menghadapi sebuah persoalan baik dari diri kita sendiri mau pun lingkungan."

"Anak Ibuk tambah pinter ngomongnya."

"Juna boleh main sama Sapi?" Arjuna menatap Ibu, mengingat kembali nasib di Sapi yang dikandangankan sejak dirinya sakit. 

"Nanti Ibuk bawa Sapi ke sini, kamu mau tidur sama Sapi?"

"Kangen Sapi."

"Siap!" Ibu baru saja bangkit saat mendengar umpatan Bapak dan Yudhistira dari meja makan. Arjuna bangkit dan menyusul Ibu ke meja makan. 

Yudhistira dan Bapak saling berpelukan dan berdiri di atas kursi, sedangkan di bawah meja sudah ada Sapi yang menikmati daging ayam yang baru dia curi dari atas meja dan keberadaan bangkai tikus yang berada di atas meja yang seolah menjadi pengganti dari ayam yang dicuri Sapi. 

"Woaaah Sapi makin pinter aja. Udah bisa bayar makanan yaa?" Arjuna terkekeh, tangannya meraih tubuh Sapi yang langsung menggeram karena acara makannya diganggu. 

"Bayar dari mananya Jun? Itu ada tikus di meja makan, geli tahu." Yudhistira memprotes, acara haru biru itu buyar seketika karena seonggok tikus dan wajah tak berdosa Sapi yang mencomot daging ayam di meja.

"Sapi itu berusaha membuat kalian senang dan nggak jadi marah. Tikus itu hadiah buat kalian, gimana sih." Arjuna berkacak pinggang, tangannya mengambil bangkai tikus itu dengan cara menjepit bagian ekornya. 

Arjuna tersenyum miring sedangkan Ibu mengangguk saja dan anggukan itu membuat Arjuna melempar dengan semu bangkai tikus itu ke arah Bapak dan Yudhistira. 

"Junaaa‼"

Arjuna terkikik, sedangkan Ibu sudah tidak bisa menahan tawanya lagi. Bukan lagi menjadi rahasia, betapa takutnya Bapak dan Yudhistira dengan hewan pengerat bernama tikus itu. Keduanya sudah kabur ke arah ruang tengah sembari mengibaskan baju mereka dan memastikan tidak ada tikus di tubuh mereka. 

Arjuna semakin terbahak, karena sudah sangat jelas kalau bangkai tikusnya masih berada di tangannya dan ketika melihat Bapak dan Yudhistira yang sedang meringkuk Arjuna benar-benar melemparnya ke sana. 

Umpatan, jeritan dan teriakan takut tidak terelakkan lagi, membuat Arjuna tertawa hingga terbatuk-batuk. 

Pagi yang indah, meskipun hari yang akan dijalani terasa berat. Arjuna bahagia berada di keluarganya. 


TBC


Sangat pendek, wkwkwk tunggu besok yaaaw


FYI : Yang nggak tahu klitih. Klitih itu semacam kejahatan di jalan, di mana pelakunya hanya melukai korbannya, nggak kaya begal yang diambil harta bendanya juga. 

Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang