Soto Betawi Bimara dan Kabar (dari) Burung

2.8K 397 46
                                    

Yudhistira tidak tahu sejak kapan dia menjadi dekat dengan Karin, bahkan pertemuan mereka di Kali Code hanya malam itu dan saling melihat sisi lain antara di kelas dan setelah keluar kelas. Yudhistira sempat berpikir bahwa dia dan Karin tidak sedekat ini, sehingga memutuskan untuk makan bersama di Kantin Bimara, dua mangkuk soto betawi dan dua gelas es teh menjadi saksi kedekatan mereka yang Yudhistira sendiri tidak mau menyebutkannya. 

"Yudh, enak nggak sih jadi anak BEM? Jadi Kadep lagi sekarang." Karin membuka pembicaraan, memang sebelum ke sini Karin mengatakan ada yang harus dibicarakan dengannya. 

"Enak nggak enak dinikmatin aja, Kar."

"Bukan gitu. Kemarin temenku tuuh nangis-nangis, karena dicibir sama anak non pengurus HIMA. Dia bilang gini, kenapa orang-orang selalu berkomentar atas hal yang mereka bahkan tidak melakukan? Mereka nggak tahu perjuangan kita sebagai pengurus itu gimana, gampang banget ngomongnya, bahkan ada yang bilang gini jangan jadi pengurus kalau nilai aja nggak diurusin. Menurut kamu gimana, Yudh?"

"Ada kalimat sederhana yang selalu terpatri karena kerasnya dunia organisasi. Disini kamu itu Berperan, bukan Baperan.Karena organisasi nggak akan jalan kalau membernya baperan semua. Kritik dikit, langsung down." Yudhistira menelan soto betawinya kemudian menatap Karin yang menunggu kalimat lanjutan darinya.

"Dunia ini keras. Dan semua orang memiliki cara masing-masing untuk mengkritik. Itu selalu terjadi di Sidang Umum akhir kepengurusan. Dan itu pedih, tapi rasa pedih itu juga hilang. Karena saran ibarat obat merah yang ditetesin di luka, pedih tapi menyembuhkan."

"Tapi kan bisa kalau kritiknya baik-baik."

"Namanya orang kalau dikritik pasti nggak mau. Manusia itu selalu mencari pembenaran atas apa yang dilakukannya dan itu selalu terjadi. Manusia itu selalu mudah menggunakan kaca pembesar dari pada cermin. Itu nggak lebih dari sebuah ketakutan untuk menerima diri sendiri."

"Aku setuju dengan manusia yang selalu mencari pembenaran atas dirinya, tapi itu kan manusiawi. Bukankah lebih baik jika mereka mengatakannya dengan cara baik-baik?"

"Mau dengan cara baik atau enggak, namanya tetap kritikan. Coba lihat dari sisi yang bilang ke temenmu seperti itu, mungkin mereka sekelas terus temenmu pernah membuat anak non pengurus itu kecewa atau capek sendiri di tugas kelompoknya. Kamu tahu, terkadang sesuatu yang buruk yang terjadi pada diri kita, ada kaitannya dengan apa yang kita lakukan terhadap orang lain. Orang awam menyebutnya karma dan aku menyebutnya sebagai hukum sebab akibat, mungkin anak non pengurus itu mengatakan hal tersebut karena temenmu itu belum bisa menjadi rekan kerja yang baik di kelompoknya."

"Bener juga sih. Tapi, kamu pernah mendapat kritikan itu?"

"Sering."

"Nangis nggak?"

"Enggak lah. Kalau kata Genta di 5 cm, kritik yang masuk itu bukan angin lalu, kritikan itu justru menjadi tinta biru agar menjadi lebih baik lagi. Intinya, kritikan itu aku simpan baik-baik."

"Gimana kalau kamu dikritik atas apa yang tidak kamu lakukan?"

"Sederhana. Buat apa kita memikirkan perkataan orang tentang sesuatu yang bahkan tidak kita lakukan. Jika dia mengkritik apa yang memang terjadi, aku menerima dengan senang hati dan cenderung menyimpan. Kalau itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya, yasudah diamkan saja, membalas hanya akan memperpanjang masalah dan memperlihatkan kalau kita sama seperti orang itu." Yudhistira menghela napas panjang. 

"Sebenarnya, orang yang mengkritik kita secara nggak sadar udah sayang sama kita, perhatian, mereka nggak seharusnya dijauhi atau pun dibenci, tapi didekati untuk terus mengevaluasi diri kita. Dan satu hal yang harus kamu sampaikan ke temenmu, kalau nggak mau dikritik pergilah dari tempatnya berada sekarang, jika dia jadi pengurus HIMA dan menolak kritikan dengan alasan bahwa mereka nggak paham sama cara kerja pengurus, dia sakit jiwa."

Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang