Arjuna menghela napas berat, tubuhnya terasa sangat lelah dengan semua hal yang berkaitan dengan sekolah, belum lagi dengan beban pikirannya tentang keluarganya yang tidak lagi terasa hangat.
Tidak ada wejangan panjang lagi dari Bapak, tidak ada teriakan kesal Yudhistira, tidak ada omelan Ibu dan tidak ada hukuman berdiri dengan satu kaki di halaman. Jika tidak salah hitung ini sudah hampir setengah tahun kehangatan dalam keluarganya menghilang, suasana meja makan yang hambar dan semua hal yang membuat rumahnya yang dulu terasa sejuk kini terasa begitu dingin.
Selama ini Arjuna juga benar-benar berjuang sendirian untuk mengejar standar yang ditetapkan Bapak, Arjuna juga ingin membanggakan Bapak.
Arjuna mengernyit saat merasakan bagian kepalanya terasa berat dan pening, sehingga dia memilih membaringkan tubuhnya di sofa yang berada di ruang tengah, tubuhnya terlanjur lemas untuk pergi ke kamar, sehingga Arjuna memilih tidur sebentar di sofa untuk mengumpulkan tenaga. Belum lagi dengan rasa sesak di bagian dadanya yang menyiksanya hampir setiap malam selama 2 minggu belakangan.
Bapak baru pulang dari pasar saat melihat Arjuna yang terlelap dalam posisi tidak nyaman, nuraninya meminta untuk berhenti namun rasanya gengsi, bagaimana kalau Arjuna memergokinya, selama ini Bapak bersikap pura-pura tidak peduli meskipun setiap malam Bapak tersiksa batinnya karena melihat bagaimana kerasnya usaha Arjuna untuk belajar.
Selama ini kegiatan 4 orang di keluarga itu tidak jauh-jauh dari saling memalingkan wajah, diam tanpa suara dan tidak lagi terdengar suara canda, percakapan yang terjadi begitu canggung dan membuat Bapak semakin merasa bersalah.
Bapak pada akhirnya memilih pura-pura tidak peduli dan membiarkan Ibu yang mengecek Arjuna. Bapak hanya melihat Ibu yang mencoba membangunkan Arjuna dari arah dapur sebelum Ibu berteriak dan mengatakan bahwa Arjuna demam. Bapak linglung, Arjuna itu jarang sakit selama ini, berbeda dengan Yudhistira yang memang mudah sakit. Bapak juga tidak mengerti kenapa Arjuna yang saat ini dia gendong menggunakan kedua lengannya terasa lebih ringan, wajah pucat itu membuat rasa bersalah Bapak semakin menjadi. Selama ini Bapak menjadi seorang ayah yang kejam bagi Arjuna, Bapak selalu membanding-bandingkan Arjuna dengan Yudhistira dan selalu bersikap sebagai musuh kepada Arjuna.
Semua drama yang selama setengah tahun ini Bapak lakoni dengan apik namun menyakiti hatinya.
"Juna, kamu dengar Bapak?" suara Bapak bergetar, tangannya bergetar saat menepuk kedua pipi Arjuna yang terasa panas di tangannya. Bapak tidak tahu kenapa air matanya menetes saat mendengar lenguhan Arjuna dan bisa melihat jika Arjuna tidak bernapas dengan benar.
"Maafin Bapak karena bersikap buruk, tapi Bapak mohon jangan sakit seperti ini." suara Bapak parau sembari berusaha membangunkan Arjuna yang terlihat kesakitan, Bapak lega saat Arjuna mulai membuka mata sayunya dan panik saat kembali memejamkannya erat-erat.
"Juna, kamu kenapa nak?"
"Sakit." Suara Arjuna begitu lirih dan terputus-putus membuat Bapak semakin panik dan merutuki Ibu yang terlalu lama hanya untuk memanggil sang kakak yang merupakan dokter di desanya.
"Mana yang sakit ? biar Bapak elus."
"Bapak." Arjuna kembali bersuara meskipun lirih. "Pusing, mual, kenapa gempanya lama sekali." Arjuna masih bergerak gelisah sembari berusaha menutup matanya rapat-rapat, Bapak sendiri sudah tertegun karena dia tidak merasakan goncangan gempa sama sekali, Bapak kemudian tanpa pikir panjang membawa Arjuna ke dalam pelukannya, meletakkan kepala Arjuna di dadanya dan membiarkan Arjuna mendengar suara detak jantungnya yang sedari tadi begitu kencang karena panik, tangan Bapak mengelus bagian kepala Arjuna penuh kasih, sesekali berbisik ditelinga Arjuna yang terlihat begitu lemah.
"Bapak di sini, maafin Bapak." Arjuna kemudian terbatuk dan napasnya tersengal hebat membuat Bapak menjadi semakin panik dan berusaha menahan tangan Arjuna yang ingin mencengkeram bagian dadanya.
Bapak kemudian mengolesi bagian dada hingga leher Arjuna dengan minyak kayu putih, tubuh Arjuna terasa dingin karena keringat dingin meskipun bagian kening Arjuna terasa panas menyengat.
Bapak kemudian meraih ponselnya untuk menelfon Ibu dan meminta Ibu lebih cepat karena Arjuna yang semakin melemah di pelukannya dan menjelaskan hal detail mengenai kondisi Arjuna. Jika saja ada Yudhistira pasti Bapak tidak akan sepanik ini, sayangnya Yudhistira berada di Bandung selama satu minggu ini dan baru pulang lusa.
Suara batuk Arjuna kembali mengambil alih kesadaran Bapak dan mata Bapak membola saat melihat darah di bagian mulut Arjuna dan sebagian terciprat ke bajunya, Bapak membuka paksa mulut Arjuna dan hatinya bergemuruh saat melihat bagian mulut Arjuna sudah berlumur darah. Bapak kemudian meminta Ibu lebih cepat dan mengatakan bahwa Arjuna mulai kehilangan ritme napasnya dan mulai bertumpu penuh di dekapannya.
"Apa yang terjadi denganmu, nak? Apa yang Bapak lewatkan dari kamu?" Bapak semakin mengeratkan dekapannya saat Arjuna sempurna terkulai di dekapannya dengan ritme napas yang hampir tidak terasa.
Bapak lega saat Ibu datang bersama kakaknya. Bapak kembali membaringkan tubuh Arjuna yang sudah lemas, membiarkan kakak iparnya memeriksa kondisi Arjuna dan memasangkan masker oksigen di bagian wajah Arjuna.
"Kondisi Juna lemah dan nggak stabil, aku udah nyiapin ambulan desa kita bawa Juna ke rumah sakit untuk dapat penanganan yang lebih intensif." Interuksi itu membuat Bapak terkesiap dan menurut saat kembali membawa Arjuna dalam gendongannya menuju ambulance yang terparkir di halaman rumahnya.
Bapak ikut masuk ke dalam ambulan, sedangkan Ibu masih terisak dan sedang ditenangkan oleh adiknya yang tadi ikut. Hati Bapak bergemuruh saat melihat wajah pucat Arjuna yang terhalang masker oksigen, tangannya menggenggam erat tangan Arjuna yang terasa dingin dan berkeringat. Bapak tersentak saat merasakan cengkaraman kuat di tangannya.
"Juna." Bapak kembali menangis saat melihat tubuh Arjuna mengejang dengan mata yang terbuka dan hanya menampakkan warna putih matanya, kakak ipar Bapak langsung menyuntikkan sesuatu ke lengan Arjuna, hingga Arjuna kembali terkulai lemas.
"Suhu tubuhnya terlalu tinggi, sejak kapan keponakan bandelku ini sakit?"
"Hubungan kami renggang setengah tahun belakangan, tadi aku hanya melihatnya tidur di sofa dan istriku mengatakan bahwa Juna demam tinggi dan aku memintanya memanggil mbak buat meriksa Juna, aku membawanya ke kamar dan berusaha membangunkan Juna, dia sesak napas, mengeluh sakit dan dia bilang ada gempa, aku milih meluk Juna hingga tiba-tiba Juna batuk berdarah."
"Ada yang nggak beres sama saluran pernapasannya, suara paru-paru dan jantungnya juga nggak normal. Aku berharap ini bukan hal yang buruk."
Bapak meremas rambutnya saat melihat Arjuna ditangani dokter segera setelah masuk IGD, Bapak bisa melihat saat tangan-tangan dokter itu melepas kancing seragam Arjuna dan menempelkan alat di bagian dada Arjuna yang langsung membuat layar monitor berbunyi, bagian mulut dan hidung Arjuna sudah tertutup sempurna oleh masker oksigen, infus langsung terpasang di lengan Arjuna.
"Dokter napasnya semakin melemah."
Bapak tidak tahu apa yang terjadi setelahnya saat masker oksigen itu dilepas,dan diganti dengan selang yang dimasukkan lewat mulut Arjuna yang Bapak dengar adalah suara layar monitor yang melengking seperti di adegan meninggal di sinetron yang Ibu tonton.
Dunia Bapak tiba-tiba gelap.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSION
Ficción GeneralSetahu Arjuna, nilai itu cuma angka 10 sampai 100. Atau Sebenarnya, angka itu berharga untuk orang lain. Angka 10 sampai 100 yang muncul di kertas ujian.