Selamat hari Kamis buat kamu yang manis, jangan lupakan aku yang menunggumu sembari duduk manis. Kenangan manis, ingatlah dengan senyuman manis, bukan dengan air mata tangis -Arjuna
"Mas, cara buat hapus dosa itu gimana sih?" Arjuna bertanya di sela kegiatannya membantu Yudhistira mengemasi barang dagangan. Jam menunjukkan lebih dari jam 12 malam, yang itu artinya sudah dini hari. Ini adalah hari kedua mereka membantu Bapak secara penuh karena Ibu yang sedang mereka jaga serupa mutiara yang rapuh.
"Banyak lah, kamu mau taubat?" Yudhistira menjawab seadanya sembari melempar kerlingan mata kepada Arjuna yang sudah cemberut.
"Memangnya selama ini aku berbuat maksiat?" Arjuna bersungut-sungut membuat Yudhistira terkekeh karenanya.
"Emang taubat cuma buat orang yang maksiat? Taubat juga berlaku bagi orang yang berbuat dosa dan dosa nggak melulu bicara soal maksiat, iri dosa, ghibah dosa, egois juga dosa, meskipun itu tidak dikategorikan sebagai perbuatan maksiat, tapi secara akhlak, itu masuknya ke akhlak tercela kan?"
"Jadi, mas nuduh aku melakukan akhlak tercela?" Arjuna cemberut, kemudian memilih duduk di pinggiran trotoar yang langsung menghadap ke jalan.
"Ngambekan masuk akhlak tercela nggak yaa? coba kamu tanya guru agamamu, Jun." Yudhistira merangkul Arjuna, semakin menyenangkan menggoda Arjuna yang sepertinya suasana hatinya sedang tidak baik.
"Mas, aku pengen ngehapus dosa-dosa aku, biar kalau pas mati nanti dosa aku berkurang, jadi aku bisa masuk syurga." Arjuna menerawang ke langit yang gelap, membuat hati Yudhistira berdesir karenanya, wajah Arjuna terlihat bersinar, seolah begitu jauh meskipun pada kenyataannya Arjuna berada di rangkulannya dan Yudhistira tanpa sadar mengeratkan rangkulannya.
"Ngapain ngomongin mati sih." Yudhistira menarik napas panjang, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyamannya.
"Kalau ingat mati, bakal ngurangin dosa nggak?" Arjuna menatap Yudhistira namun Yudhistira memilih tersenyum kemudian melirik barang-barang yang sudah siap diangkut.
"Sebelum pulang mau jalan-jalan dulu nggak?" Yudhistira menawarkan, entah kenapa setelah membicarakan soal mati, Yudhistira ingin membuat kenangan manis sebanyak-banyaknya dengan Arjuna.
"Capek aku, mau langsung pulang aja ... aku harus irit tenaga buat ujian praktik besok, nggak lucu kalau besok mukanya jelek karena kurang tidur." Arjuna berdiri dan Yudhistira memilih mengikuti dalam diam.
Yudhistira menatap punggung adiknya yang berjalan menjauhinya dan Yudhistira tidak mampu menggapainya, punggung itu terlihat begitu jauh.
"Mas, ayo!" suara Arjuna membuat Yudhistira mengerjap kemudian membawa Arjuna ke pelukannya dan membuat Arjuna memberontak karena bingung.
"Sebentar aja, sebentar aja buat aku yakin bahwa kamu nggak pergi kemana-mana." Yudhistira memejamkan matanya, berusaha menepis bayangan buruk yang berkelana di kepalanya.
"Ngaco! Aku masih di sini, mas kok jadi aneh gini sih?"
"Kalau gitu, jangan bicara soal mati lagi, soal dosa dan soal taubat." Yudhistira melepaskan pelukannya , menatap Arjuna yang wajahnya sudah terlihat lelah.
"Terserah apa kata mas deh, aku udah ngantuk." Jawaban Arjuna memang terkesan terlalu santai, namun sudah mampu membuat Yudhistira menghela napas lega.
_____
Arjuna menghela napas panjang meskipun setelahnya terbatuk kecil, dengan segera Arjuna menenggak air mineral yang sempat dia beli di kantin. Entah kenapa Arjuna merasa tubuhnya semakin hari semakin aneh, padahal saat bertemu Dokter Cipto, Dokter Cipto mengatakan bahwa semuanya berjalan dengan sangat baik. Arjuna menghela napas panjang kemudian memilih mengambil seragam olahraganya di tas, namun sebelum itu terjadi tangan Dica sudah terlebih dulu mengambilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSION
Ficção GeralSetahu Arjuna, nilai itu cuma angka 10 sampai 100. Atau Sebenarnya, angka itu berharga untuk orang lain. Angka 10 sampai 100 yang muncul di kertas ujian.