Setelah malam mengerikan dengan mimpi buruk itu, suasana rumah menjadi normal. Yudhistira tidak kehilangan pemandangan Arjuna yang berdiri dengan satu kaki, bahkan terkadang saat mengingat jadwal bolos Arjuna, Yudhistira pulang demi melihat wajah kesal Arjuna yang sepertinya sudah lelah menjadi tempat Ibu melampiaskan semua uneg-uneg.
Tidak terasa hal itu menjadi candu tersendiri bagi Yudhistira, rasa muak dan lelah yang pernah dirasakannya mendadak menguap begitu saja, alih-alih bosan Yudhistira malah selalu merasa rindu dengan Arjuna sehingga saat dia tidak berkesempatan pulang lebih awal Yudhistira akan cerewet saat menelfon Arjuna, bahkan untuk membuktikannya Yudhistira meminta video call.
Tidak jauh berbeda dari Yudhistira, Ibu juga merasa senang karena tidak kehilangan momen mengomeli Arjuna, meskipun masih banyak bisik-bisik tidak enak, Ibu memilih tidak peduli karena Ibu percaya bahwa Arjuna tidak akan bertindak sejauh itu.
Bapak sendiri tidak bisa untuk tidak memeluk Arjuna satu hari saja, bahkan terkadang memilih tidur bersama Arjuna dibanding bersama Ibu. Waktu terus bergulir, hingga tidak terasa sudah satu semester dilewati Arjuna, itu artinya tidak ada setengah tahun lagi Arjuna akan lulus SMA.
"Pada akhirnya saya memutuskan untuk memanggil Bapak dan Ibu." Suara kepala sekolah disambut sebuah senyuman tipis oleh Bapak yang sudah duduk anteng di sofa bersama Ibu. Arjuna duduk tidak jauh dari mereka dan mencoba untuk tidak peduli.
"Arjuna sudah kelas 3, saya kira wali kelas Arjuna sebelumnya sudah memperingatkan Bapak tentang hal ini, namun kami tidak menemui perubahan sama sekali pada tingkah Arjuna yang masih suka membolos dan tidak memperhatikan pelajaran di kelas." Kepala sekolah yang usianya lebih tua beberapa tahun dari Bapak itu menghela napas panjang, laki-laki paruh baya itu terlihat lelah dan bingung.
"Dengan kelakuan Arjuna yang seperti itu, guru-guru bingung kenapa Arjuna mendapat nilai mendekati sempurna bahkan ada yang sempurna saat ujian semester, kami sudah menanyakannya berkali-kali dan memaksa Arjuna untuk mengakui kecurangannya."
"Jadi, maksud Bapak ... Juna mendapat nilai itu dari hasil mencontek?" Bapak menyela sembari mencoba menatap mata kepala sekolah dan pertanyaan Bapak dijawab oleh anggukan mantap dari kepala sekolah.
"Kenapa Bapak bisa berasumsi kalau Juna itu mencontek?" kali ini Ibu membuka suara, matanya melirik Arjuna yang terlihat santai.
"Jika dipikir secara logika, dengan Arjuna yang tidak memperhatikan pelajaran dan sering bolos, hal seperti ini tidak akan terjadi, tidak ada nilai sempurna untuk anak yang pemalas seperti Arjuna."
"Juna, apakah benar apa yang dikatakan kepala sekolah?" kali ini Bapak menatap Arjuna yang sepertinya sudah kelewat kesal.
"Dia pasti tidak akan mengaku, Pak."
"Mengaku atau tidak, biarkan saya bertanya kepada anak saya tentang kebenaran informasi yang Bapak sampaikan." Bapak tidak ingin membuat kesalahan lagi, rasa takut kehilangan itu lebih besar dari harga dirinya, sehingga Bapak memilih berpikir logis dan memberi kesempatan Arjuna untuk berbicara.
"Kalau soal nggak merhatiin dan bolos Bapak tahu betul kebenarannya, apalagi Ibuk yang udah sering ngomelin Juna, tapi soal mencontek Juna tidak pernah melakukannya entah dulu atau sekarang."
"Kamu berani buktiin ke Bapak dan Ibuk kalau semua tuduhan tentang mencontek itu nggak bener?"
"Siapa takut." Arjuna menjawab dengan santainya dan itu membuat Bapak tersenyum tipis dan kembali menatap kepala sekolah.
"Pak, silahkan Anda berikan soal ujian semesternya dan biarkan Arjuna mengerjakannya dengan mata kita yang mengawasinya langsung."
"Baiklah, tapi ini soal lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSION
General FictionSetahu Arjuna, nilai itu cuma angka 10 sampai 100. Atau Sebenarnya, angka itu berharga untuk orang lain. Angka 10 sampai 100 yang muncul di kertas ujian.