Semuanya (akan) baik-baik saja, bukan?

2.9K 403 30
                                    

Hai. Ada yang masih merindukanku dan menungguku? -Juna


_____


Arjuna menghela napas panjang mencari kembali sorot semangat dari matanya lewat cermin di almarinya. Seragam sudah rapi, buku sudah masuk semua dan dia sudah siap menjalani hari ini dengan menjadi anak baik. 

Arjuna tertegun sebentar, kemudian menatap tasnya yang berisi buku untuk persiapan ujian yang selalu tebal dan berat. Keluarganya menjadi kacau sejak dirinya menjadi siswa yang penurut dan rasanya menyakitkan saat mengingat kembali perbincangan tadi malam.

 Arjuna membongkar tasnya, mengeluarkan buku- buku miliknya dan hanya menyisakan satu buku dan satu pena, khas Arjuna selama dua setengah tahun di SMA. Arjuna mencangklongkan tasnya di pundak, kemudian berlatih tersenyum lebar. 

Siap menyambut dunia barunya, dengan mencoba berpikir naif. 

Mungkin, jika Arjuna yang anak baik itu hilang, maka kemuraman keluarganya juga akan hilang dan mimpi buruk itu akan terlupakan. 

Arjuna memulainya dari menjahili Yudhistira yang belum bangun, Ibu yang sedang memasak dan Bapak yang sedang bercengkrama dengan Sapi. Arjuna hanya ingin semuanya baik-baik saja, bahkan meskipun bahagia itu ilusi, Arjuna berharap berada di ilusi itu untuk selamanya.




"Jun, kamu udah sehat?" pertanyaan juga kernyitan dari Dica adalah yang pertama kali dia jumpai saat di kelas. Hari masih pagi dan belum banyak siswa yang datang, biasanya mereka akan datang 15 menit sebelum bel masuk. 

"Udah dong, kan udah kangen sama kamu." Arjuna mengerlingkan matanya, membuat Dica menjadi mual. 

"Kelihatannya tasmu enteng banget, nggak bawa buku Detik-Detik?" Dica mengernyit saat melihat tas Arjuna yang terlihat ringan, sedangkan dia merasa bahwa pundaknya mau patah setiap kali ada kewajiban membawa buku Detik-Detik UN. 

"Males akh, lagian namanya juga nggak pas. Masa namanya Detik-Detik, ujian kan masih tiga minggu lagi, harusnya Minggu-Minggu UN."

"Anget kamu yaa, kamu kok jadi gini sih?"

"Mau aja. Dari pada dapat resiko pundak patah."

"Nggak jadi ambis buat ngejar nilai ujian terbaik?"

"Kalau aku dapat juga nggak bakal guna-guna amat, nggak ada niatan kuliah aku." Arjuna menghembuskan napas panjang, kemudian melihat ke sekeliling yang hening dan kosong. 

"Kok aku ngrasa kelas ini sepi banget yaa?"

"Gara-gara kamu taubat, jadinya kelasnya sepi." Dica menjawab seadanya, matanya tidak pernah lepas dari Arjuna yang tampak mengamati seisi kelas yang kosong karena hanya mereka berdua yang sudah berangkat. 

"Bikin rame lagi asyik kali yaa." Arjuna bangkit dari duduknya dan mulai melakukan hal yang dulu sering dia lakukan, Dica yang melihat itu hanya menghela napas panjang. 

Dia merasa ada yang aneh dengan Arjuna, wajah sendu yang berusaha disembunyikan, sorot mata kosong yang berusaha dibinarkan dan senyuman palsu yang sengaja dimaniskan. Sehingga, Dica memilih mengamati Arjuna yang mencari sesuatu yang akan meramaikan kelas, Arjuna yang onar dan jail. 

"Jun, kamu bukan orang yang bisa pakai topeng dengan sempurna, terutama di mataku." Pada akhirnya Dica bangkit, memegang kedua pundak Arjuna erat-erat, memaksa mata Arjuna yang berkaca-kaca menatapnya. 

Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang