Petuah, Larangan , Sebuah Klarifikasi dan Rahasia

3.3K 500 33
                                    

Satu minggu berada di rumah sakit benar-benar membuat Arjuna muak, sehingga saat dokter dengan karakter unik itu memperbolehkannya untuk pulang Arjuna senangnya bukan main, meskipun katanya masih harus rehat lagi selama tiga hari. Arjuna tidak peduli, dia harus kembali ke sekolah untuk mengejar ketinggalan. 

Selama di rumah sakit Ibu benar-benar menjauhkan Arjuna dari benda berupa buku sekolah dan ponselnya, kerjaannya hanya disuruh tidur meskipun itu benar kenyataannya karena setiap kali minum obat Arjuna langsung merasa mengantuk. 

Badan Arjuna masih lemas meskipun tidak selemas selama di rumah sakit, rasa bahagia karena bisa pulang mengalahkan rasa lemas itu. 

Setelah melambaikan tangan kepada dokter dan mengatakan bahwa tidak akan pernah bertemu lagi Arjuna tersenyum senang. 

"Jangan berkata seperti itu, Jun." Bapak menatap Arjuna yang sangat senang. 

"Kamu tetap bakal ketemu sama beliau, karena kamu harus kontrol untuk paru-paru kamu." Pernyataan Bapak membuat Arjuna menepuk dahinya pelan. 

"Pantas, nggak respon, emang harus banget yaa ?"

"Iya, buat ngambil obat sekalian."

"Duh, banyak pantangan dong."

"Makanya istirahat dulu di rumah."

Arjuna hanya mengangguk masa bodoh kemudian tersenyum sendiri saat otaknya memikirkan cara agar bisa datang ke sekolah. Tidak tahu saja, jika Ibu sudah menyiapkan sebuah rencana yang lebih indah dari rencana Arjuna.



Arjuna langsung berlari kecil menuju rumahnya begitu turun dari mobil, membuat Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya dan Bapak berteriak memperingatkan. Arjuna sendiri memilih tidak peduli dan langsung membawa Sapi yang sudah menyambutnya ke gendongannya. 

Arjuna memeluk Sapi erat-erat, menciumnya gemas berulang kali dan mengatakan kerinduannya, Sapi sendiri tidak protes dan memilih menikmati pelukan majikan kesayangannya itu. 

"Juna!" suara kompak itu membuat Juna menoleh dan mendapati, Bapak, Ibu, dan Budhe menatapnya begitu tajam, Arjuna menatap mereka penuh tanya, begitu pun dengan Sapi yang memalingkan kepalanya. 

"Jangan mainan dulu sama kucing, nggak ingat kata-kata Dokter Cipto?" Ibu berkacak pinggang menatap galak kepada Arjuna kemudian mengambil alih Sapi dari gendongan Arjuna yang langsung mendapat rengekan dari Arjuna. 

Ibu selalu melupakan hal ini, bahwa Arjuna akan sangat sensitif dan manja saat sakit. 

"Ibuuk! Dokter kan cuma bilang jangan deket-deket dulu sama bulu-bulu dan debu, Sapi kan nggak punya bulu, punyanya rambut."

"Nanti rambut kucingnya rontok, terus kalau masuk ke saluran pernapasanmu akan berefek." Kali ini Budhe yang menjelaskan, sedangkan Arjuna memberengut kesal, tangannya berusaha menggapai Sapi yang masih berada di gendongan Ibu.

 "Juna juga punya rambut yang gampang rontok kaya Sapi, jadi Juna nggak bisa deket-deket sama diri Juna sendiri?" jawaban Arjuna membuat ketiga orang dewasa di sana kehilangan kata-kata. 

Mereka ingin mengomel, namun rasanya tidak ada kosa kata yang keluar dari mulut mereka. Berbanding terbalik dengan Bapak, Ibu dan Budhe yang kehilangan kosa kata, Pakdhe yang masih berdiri di samping mobilnya tertawa melihat interaksi itu. Pakdhe menghela napas panjang kemudian merangkul Arjuna yang masih memasang wajah cemberutnya. 

"Main sama Rama gih, langsung ke kamar aja, sepupumu itu lagi nggak ada kerjaan."

"Rama nggak datang les, Pakdhe? Kenapa dia nggak ikut aku jemput dari rumah sakit aja?" Arjuna mencebikkan bibirnya, entah kenapa dia merasa sangat sensitif akhir-akhir ini dan selalu ingin dimanja. 

"Bolos dia, katanya nggak asik kalau nggak ada kamu, sana gih! Tapi jangan lari-lari dulu yaa, tekanan darahmu belum bisa dikatakan normal kan?"

"Siap kapten!" Arjuna tersenyum lebar, kemudian memilih pergi ke arah rumah Pakdhe dan Budhe yang berjarak tiga rumah dari rumahnya. Pakdhe tersenyum saat melihat antusias Arjuna, kemudian pandangannya beralih kepada Bapak, Ibu dan Budhe

"Kita harus bicara sebagai orang tua, sebagai saudara dan sebagai keluarga." Pakdhe menatap ketiganya serius dan itu membuat mereka bertiga mengernyit.



_____


"Kalian tahu istilah bahwa iri itu tanda tidak mampu?" Pakdhe membuka suara kemudian menghembuskan napas panjang. 

"Mungkin masalah ini sudah berlalu bagi kalian berdua, tapi aku rasa aku perlu menjelaskan dan meluruskan tentang ini agar kalian tidak terus-terusan merasa tersiksa."

"Masalah yang mana tho, Mas?" Ibu bertanya dengan nada herannya, rasanya sejak semuanya baik-baik saja tidak ada masalah yang berarti untuk mereka. 

"Tentang Arjuna." Pakdhe menjawab dengan mantap, kemudian menatap kedua adik iparnya yang menuntut penjelasan. 

"Apa yang orang katakan itu semuanya benar, tentang pulang malam dan semua hal yang terpandang negatif, tapi Juna punya alasan tersendiri dan alasan itu yang membuat mereka membicarakan itu di depan kalian berdua. Arjuna itu aktif di Karang Taruna, sering membantu dan membaur bersama mereka, juga aktif di komunitas relawan mengajar di luar desa kita ini. Mungkin kalian tidak begitu tahu tentang itu karena kalian sIbuk dengan bisnis kalian." Pakdhe menghela napas panjang kemudian menatap kedua adik iparnya yang sepertinya masih bingung. 

"Omongan tetangga tentang hal negatif itu tidak lain hanya karena iri, mereka iri karena kalian memiliki Arjuna dan Yudhistira. Dua anak yang selalu bersinar di tempatnya masing-masing dan di waktunya masing-masing. Arjuna itu anak baik, percayalah kalian bisa membuktikannya dengan bertanya kepada anak Karang Taruna atau pengurus desa yang pernah bersinggungan dengan Arjuna."

"Mas, kenapa kami bisa tidak mengetahui hal ini?" Bapak angkat bicara, rasa gagal kembali menyelimuti hatinya. 

"Kalian kalau malam pergi ke Babarsari, kalau siang istirahat di rumah atau pergi ke pasar, bahkan istrimu juga jarang belanja di sini. Aku tahu, itu semua penting tapi bermasyarakat juga penting dan kekurangan kalian yang satu itu ditutupi dengan baik oleh Arjuna. Ketidaktahuan kalian dan keirian mereka yang membuat kabar tidak menyenangkan itu menyebar, aku mengatakan ini bukan karena apa-apa, tapi aku melihatnya sendiri bagaimana mereka memarahi anak-anak mereka dan membandingkannya dengan kedua anak kalian."

"Makasih karena sudah menguatkan kami, Mas."

"Ah iya, Juna dijaga baik-baik yaa, anak itu entah kenapa aku merasa dia semakin jauh." Pakdhe menghembuskan napas panjang, mengingat kembali cerita Rama tentang semua hal yang dilakukan mereka diluar sepengetahuan orang tua. 

Pakdhe menghembuskan napas panjang, karena masih terikat janji kepada Rama, Pakdhe memutuskan untuk tetap diam. 


TBC

Say Something?

Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang