Sapi, BEM dan Keputusan

5.4K 607 28
                                    


Selamat menikmati.  



____  

Yudhistira merebahkan tubuh lelahnya di sofa panjang yang ada di ruang tengah, matanya fokus dengan tayangan TV. 

Hari sudah mulai gelap dan Yudhistira tahu kalau Bapak dan Ibu akan segera berangkat untuk menjual beberapa potong ayam dan ikan di daerah Babarsari. 

Cukup jauh memang dari tempat tinggalnya yang berada di Mlati, namun memang sudah sejak dulu Babarsari menjadi tempatnya Bapak merintis usaha kuliner secara turun temurun. Bapak sendiri adalah warga Babarsari sebelum menikah dengan Ibu dan akhirnya pindah ke tempat Ibu di Mlati karena ada masalah dengan keluarga Bapak, akhirnya mau tidak mau harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk bisa mencari beberapa rezeki di Babarsari. 

Sebenarnya Bapak pernah membuka usahanya di Mlati namun tidak begitu menghasilkan, berbeda dengan di daerah Babarsari yang lokasinya mendekati Kota Yogyakarta yang strategis dan menjadi tempat untuk nongkrongnya mahasiswa. 

Jika dipikir, Yudhistira sedikit kesal dengan keluarga Bapak yang egois sehingga Bapak harus mengalah, namun Yudhistira juga tidak mau ikut campur lebih banyak. 

Keluarga Ibu masih banyak yang baik dan saling pengertian dan mungkin karena itu lah Bapak mendidik Yudhistira dan Arjuna dengan keras dan selalu menegaskan bahwa sesama saudara itu tidak boleh saling berpaling.

"Yudh, kami berangkat sekarang. Jangan lupa suruh adikmu pulang, pastikan dia mandi, berangkat jamaah sama kamu, tadarus sama kamu, suruh dia ngerjain tugasnya sama kamu, setelah sholat isya' baru nyusul." Bapak memberi wejangan yang sama kepada Yudhistira dan hanya disanggupi Yudhistira dengan anggukan.

Satu hal yang Yudhistira suka dari Bapak adalah bagaimana Bapak menjadikan Yudhistira dan Arjuna sebagai saudara yang saling melindungi dan menghormati.

Wejangan itu pula yang membuat Yudhistira menjadi berpikir ulang saat akan pulang terlambat, kesadaran Bapak dan Ibu yang belum bisa mengawasi Arjuna secara penuh membuat mereka mempercayakan pendidikan Arjuna kepada Yudhistira yang dianggap bisa diandalkan, apalagi dengan tabiat Arjuna yang anteng kitiran, yang tidak bisa diam barang sebentar saja, bahkan setelah Arjuna selesai mencuci peralatan bekas makan siang, menyapu ruangan dan membersihkan halaman, Arjuna sudah tidak terlihat di kamar atau ruang tengah. 

Yudhistira terkadang heran, karena di saat anak-anak seusia Arjuna lebih betah di rumah dengan ponsel di tangan dan tontonan TV, Arjuna lebih memilih bermain sepak bola atau bermain layang-layang kalau angin sedang bagus bersama anak-anak desa lainnya, tidak peduli jika dia menjadi yang paling besar sendiri meskipun terkadang ada teman sekolah Arjuna yang ikut bermain bersama.

Bapak dan Ibu sudah berlalu sejak beberapa menit yang lalu, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang dan hal itu membuat Yudhistira berniat untuk menyeret Arjuna untuk pulang, Arjuna belum mandi dan Yudhistira takut kalau waktunya tidak cukup untuk mengejar jamaah di masjid dan berakhir menjadi makmum masbuk. 

Yudhistira baru saja akan bangkit kalau saja tidak dikagetkan dengan seekor kucing yang mendarat di perutnya, kucing dengan tubuh yang beranjak besar berwarna hitam putih dengan ekor hitamnya yang panjang, kucing itu mengeong saat Yudhistira bangkit sembari mencengkeram tubuhnya yang masih terbilang kecil. 

Tanpa bertanya, Yudhistira sudah tahu siapa pelakunya.Arjuna yang sudah menghilang di balik pintu kamar mandi setelah menyambar handuk yang tersampir di jemuran yang berada di samping kamar mandi adalah satu-satunya pelaku.

Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang