Tinta Biru dan Mantan Calon Perawat

3.4K 506 51
                                    

Sabodo nggak ada 10 respondens. Udah gatel. Selamat menikmati. Besok Senin lhoo.




Arjuna kesal dan jika ada kata yang lebih dari itu mungkin Arjuna akan menggunakannya dengan senang hati. Rencana yang sudah Arjuna susun dengan rapi hancur berantakan hanya karena seragam sekolahnya yang sudah raib entah kemana, pintu kamarnya dikunci dari luar dan jendela kamarnya di palang dari luar. 

Arjuna memalingkan wajahnya saat Ibu muncul dari pintu kamarnya sembari membawa nampan berisi makanan dan obat-obatan miliknya. Ibu sengaja menyimpannya agar Arjuna tidak membuang obatnya dan tetap bisa mengontrol Arjuna untuk minum obat.

"Masih ngambek?" Ibu meletakkan nampan di meja belajar Arjuna kemudian duduk di sisi ranjang Arjuna, matanya menatap sendu wajah Arjuna yang masih terlihat pucat dan tengah memalingkan wajahnya. Ibu menyadari rasa kesal Arjuna, namun apa yang Ibu lakukan tidak lain untuk kebaikan Arjuna.

"Sebelum dilanjutin marahnya, coba kamu bilang ke Ibuk apa yang buat kamu kekeuh pengen ke sekolah?" Ibu bertanya dengan nada lembutnya, tangannya memasang manset tensimeter ke lengan Arjuna. 

Dulu, sebelum memutuskan menerima lamaran Bapak, Ibu adalah lulusan akademi keperawatan. Niatnya untuk membantu sang kakak yang membuka praktek, namun sejak Yudhistira lahir, Ibu memutuskan untuk membantu Bapak dan merawat putranya sendiri, meskipun terkadang membantu pekerjaan kakaknya di klinik saat sedang tidak banyak pekerjaan dan sedang tidak lelah.

"Tekanan darah kamu masih rendah padahal, pasti masih pusing, badan kamu juga agak anget." Ibu membereskan peralatannya, mencoba mencuri perhatian Arjuna yang masih betah dengan aksi diamnya.

"Bilang sama Ibuk, kenapa Juna kekeuh mau berangkat sekolah, padahal Dokter Cipto udah bilang kalau kamu perlu bedrest tiga hari dulu." Ibu kembali mencoba membujuk namun melihat Arjuna yang belum merespon membuat Ibu menghela napas panjang.

"Ibuk tahu Juna itu anak Ibuk, seharusnya Ibuk ngerti apa yang dirasain sama Juna. Meskipun kita memiliki ikatan batin, tapi Ibuk bukan peramal yang tahu apa masalah kamu kalau kamu nggak ngomong sama Ibuk. Memiliki ikatan batin, bukan berarti harus selalu mengerti, ada kalanya perlu berbicara tentang apa yang kamu rasain sekarang." Ibu tersenyum saat Arjuna mulai merespon dan menatap ke arahnya, tidak lagi memalingkan wajah seperti tadi.

"Buk, dulu pas Bapak sama Ibuk dipanggil kepala sekolah gara-gara tuduhan mencontek, Ibuk masih ingat kan apa yang dikatakan kepala sekolah? Aku nggak boleh bolos-bolos lagi."

"Ini namanya bukan bolos, tapi karena kondisi kamu lagi nggak vit buat mengikuti pelajaran di kelas. Memangnya kalau kamu berangkat tapi masih pusing pelajarannya bakal masuk? yang ada kamu bakal tambah pusing." Ibu mengelus pelan lengan Arjuna yang terasa hangat di telapak tangannya, tubuh Arjuna sepertinya lebih kurus dibanding saat sebelum sakit.

"Sebenarnya Juna takut, selama ini orang-orang menganggap Juna seperti orang yang nggak akan terkalahkan dan nggak akan sakit seperti ini. Orang-orang menganggap Juna seperti orang yang nggak punya capek dan selalu kuat menghadapi apa pun, Juna takut mereka kecewa dan malah marah, Juna cuma mau menuruti anggapan mereka yang sama sekali nggak percaya kalau Juna bakal istirahat di rumah sakit selama seminggu." Arjuna menunduk dalam-dalam, mencoba menahan air mata agar tidak menetes.

"Selama ini Juna hidup untuk memenuhi keinginan orang-orang, semua orang berpikir bahwa Juna itu nggak bisa apa-apa dan pasti akan terasa aneh kalau Juna tiba-tiba bisa melakukan segalanya. Buktinya, pas Juna dapat nilai bagus di ujian semester nggak ada yang percaya kan? Sampai Juna harus buktiin dulu kalau Juna nggak sebodoh itu dalam pelajaran, Juna emang kadang seneng kalau jadi Juna yang sekarang tapi terkadang Juna capek jadi orang bodoh terus, orang yang suka onar, terkadang Juna pengen jadi orang yang normal saja."

Nilai [COMPLETE] -- PDF VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang