Suara napas yang putus-putus terdengar dari bibir tipis seorang cewek yang terus menahan kakinya agar tidak berhenti bergerak. Di depannya terlihat jarak yang semakin jauh antara posisinya kini dengan teman-temannya.
"Davia, semangat! Lari! Lari! Lari!"
Sorakan demi sorakan terdengar dari seorang guru olahraga yang memakai kerudung dan peluit di bibirnya. Sesekali terdengar suara peluit tanda sudah berkurangnya jatah jarak murid lain.
"Bu, nyerah! Nyerah!" teriak cewek yang dipanggil Davia itu terputus. Ia tampak sangat kelelahan, dan pipinya memerah seperti tomat. Di detik selanjutnya, ia terjatuh dengan tangan terus melambai.
"Lumayan, Dav. Kamu berhasil lari dua setengah putaran dengan waktu lima belas menit," kata gurunya dengan suara bangga. Ia memberi jempol pada Davia, lalu mengulurkan tangan membantu cewek itu berdiri.
Napas Davia masih belum normal, tetapi ia tersenyum. Meskipun ia tahu usahanya masih belum cukup, setidaknya ia sudah mengalami kemajuan. "Kurang dua setengah putaran lagi, ya, Bu?"
Bu Ida—guru olahraganya—mengangguk, lalu berjalan menjauh. Tiupan peluit kembali terdengar dan murid-murid kelas Davia mulai berbaris kembali melakukan olahraga.
Davia menyeret langkahnya menuju barisan paling belakang sebelum memulai pemanasan lagi. Ia sangat membenci jam olahraga, tapi juga menyukai bagaimana matahari pagi menyinari tubuhnya seperti sekarang.
Ia memejamkan mata sambil terus berusaha bergerak menikmati matahari hangat. Bisik-bisik kembali terdengar, perlahan senyum di bibirnya luntur dan ia memejamkan mata lebih dalam.
"Katanya Davia nambah setengah putaran?"
"Iya, tiap bulan nambah setengah putaran, kapan sampai lima putarannya?"
Kemudian tawa cekikikan terdengar, membuat cewek berpipi chubby dengan ikat ekor kuda itu merasa sedikit jengah. Ia sudah terbiasa dengan ejekan demi ejekan di hidupnya, tapi semua masih sama menyakitkannya tiap kali terdengar.
"Untung aja tuh anak pinter, kalau enggak sih, mana mau gue temenan sama dia."
Sebuah suara terdengar lagi. Ia mulai muak, dengan kencang ia menghitung gerakannya agar suara-suara yang mengejeknya itu tidak lagi terdengar.
"Eh, kayaknya Davia denger, deh. Mati gue, bisa-bisa dia enggak mau ngasih gue contekan lagi."
"Memang dia pernah ngasih lo contekan? Dia kan pelit. Sayang aja kesayangannya semua guru. Gue males cari ribut aja sama dia makanya diem."
Cukup, Davia merasa semua ini sudah keterlaluan. Ia membuka mata, lalu berjalan menghampiri dua cewek yang sejak tadi membicarakan dirinya.
"Vina, Dista, mungkin lain kali kalian harus kecilin suara kalian kalau ngomongin orang," ucap Davia santai, senyum tercetak di bibirnya yang tipis. "Gue bisa denger suara kalian dari jarak sejauh tadi. Enggak lucu, kan, lo ketauan sama orang yang lo omongin kalau lo lagi ngomongin dia?"
Ekspresi dua cewek yang sejak tadi bicara itu berubah menjadi sedikit kesal. Vina, mengerutkan kening lalu membuang muka dan menjauh. Sementara Dista hanya tertunduk, dan sesekali bibirnya mengeluarkan gumaman tidak jelas.
Melihat itu Davia tersenyum puas. Ia melangkah mundur beberapa kali hingga sampai di tempatnya tadi. Meski hatinya masih sedikit terluka, ia tetap berusaha tersenyum. Tidak semua orang perlu tahu bagaimana ia bisa begitu rapuh, kan?
Ralat, tidak semua orang berhak tahu kelemahan dan menjatuhkannya lagi dan lagi. Davia tahu itu, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menjatuhkannya lagi, selain dengan keadaan tubuhnya yang sangat gempal.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...