◎ 16. Terkunci ◎

38.6K 5.2K 1.6K
                                    

Aku ingin mereka mengerti
Bukan mencaci
Atau memaki

Aku ingin mereka percaya
Bukan hanya perdaya
Dan benar-benar mengganggap aku ada

Bukan sekali dua kali
Aku mencoba berdiri
Melawan luka dalam hati

Namun,
Semua tetap tidak ada yang menuntun,
Malah menuntut tanpa ampun.

◎ ◎ ◎

Harusnya setelah bel pulang sekolah tadi, Davia langsung berlari menuju pagar dan pulang ke rumahnya. Namun, baterai ponselnya yang tidak sampai dua puluh persen membuatnya tidak beranjak dari sekolah.

Jam menunjukkan pukul empat lebih dua puluh menit, saat Davia akhirnya mencabut kabel yang tersambung ke aliran listrik dan mulai merapikan tasnya.

Pintu kelas Davia yang terbuka lebar tiba-tiba tertutup dengan kencang. Kaget, Davia menoleh ke pintu dan mendengar bunyi pintu itu dikunci dari luar. Cepat-cepat ia berlari menuju pintu dan menggedor pintu itu kencang.

"Buka! Masih ada orang di dalam sini!" teriak Davia kencang, ia menggigit bibirnya, takut. Selama ini tidak ada yang tahu jika ia memiliki ketakutan berlebih pada ruang tertutup.

Keringat mulai membasahi keningnya, ia terus menggedor pintu keras-keras. Sayangnya, tidak ada jawaban. Pandangan matanya berkeliling mencari cara agar ia bisa keluar. Sempat terpikir mungkin ia bisa keluar melalui jendela kelasnya, tapi pikiran itu langsung hilang ketika msnyadari jendela itu terletak sangat tinggi.

Butuh sebuah meja yang dinaikinya untuk sampai ke sana. Bisa saja ia menaiki salah satu meja kelasnya. Namun, apa meja itu akan kuat?

Davia menjatuhkan dirinya di balik pintu kelas, napasnya mulai putus-putus. Ruangan ini cukup besar, tapi ia benar-benar takut berada di dalam sini. Keheningan semakin terasa, Davia memeluk tubuhnya sendiri, dan air mata mulai turun membasahi pipinya.

"Mama, Davia takut," bisiknya sambil menaruh wajahnya di atas lutut.

◎ ◎ ◎

Sudah satu setengah jam Devan menunggu Davia di parkiran motor, tapi sejak tadi cewek manja itu belum juga datang. Devan beberapa kali mencoba menghubungi ponselnya, tapi Davia tidak juga mengangkat panggilannya.

Dari kejauhan, Devan melihat Melisa dan beberapa temannya Davia berbincang dengan serius. Ia menyipitkan mata saat cowok yang dilihatnya tadi saat kelas olahraga sedang tertawa. Entah kenapa, kaki Devan melangkah ke arah mereka.

"Lo kelas 10MIPA2, kan?" tanya Devan sambil memandang cowok yang tertawa itu tajam.

Cowok itu menoleh, lalu mengangguk. "Kenapa?"

"Liat Davia nggak?"

"Nggak," jawab cowok itu singkat, ia membuang wajahnya ke samping lalu bicara pada beberapa temannya yang lain. "Cabut, yuk. Gue pengin pergi. Kak Mel, gue duluan, ya!"

Melisa mengangguk kikuk, pandangannya terus tertuju pada tanah. Devan memandang Melisa curiga, apalagi setelah kepergian Rendi, cewek di hadapannya ini tampak semakin salah tingkah. Ia meremas jarinya, lalu melempar pandangan ke berbagai arah.

"Mel, lo ngapain main sama anak kelas 10?" tanya Devan.

Melisa mengangkat wajahnya, lalu menggeleng. "Rendi bantuin gue buat ngurusin mading minggu ini."

"Tumben," jawab Devan, ia memasukkan tangan ke kantung celananya. "Biasanya lo nggak pernah minta bantuan siapa pun buat ngurus mading, kan?"

"Ha?" Melisa membuka mulut lebar, tanda terkejut, lalu segera menutupnya dengan tangan. "Minggu ini gue butuh bantuan dia buat dekorasi."

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang