◎ 7. Kesempatan Kedua ◎

48.2K 6.5K 2.6K
                                    

"Kak, gue serius sama olimpiade ini. Besok latihan di rumah gue, ya?"

Tidak ada jawaban dari ujung sambungan, hanya deru napas yang terdengar membuat Davia mendadak merasa ragu dan canggung. Ia baru sadar bahwa ini adalah kali pertamanya berbicara dengan cowok selain papanya melalui telepon.

"Kak, lo tidur?" sapa Davia lagi.

"Mmm, nggak," jawab Devan di ujung panggilan. "Gue cuma lagi mikir.

"Mikir apa? Kalau lo mikir apa gue beneran serius dan niat buat menangin olimpiade ini, gue yakinin sama lo kalau gue beneran niat. Jadi lo nggak perlu mikir-mikir lagi. Gue bakal lakuin apa aj—"

"Bukan," potong Devan. "Gue mikir hal lain."

Davia mengerutkan keningnya, ia benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh kakak kelasnya ini. Apa mungkin otaknya sudah konslet dan tidak mampu menerima perkataan yang ringan sejelas tadi?

"Terus mikir apa?"

"Kemarin lo ngamuk-ngamuk sama gue karena gue nelepon lu nggak pake ngucapin salam, kan?"

Davia menelan ludah. Ia baru saja melewatkan sebuah hal yang sangat penting dan bertindak bodoh.

"Lo sadar nggak kalau lo baru aja ngelakuin hal yang sama ke gue?"

Skak mat. Davia kalah. Hancur lebur. Ia benar-benar menelan kembali omongannya waktu itu. Rasa canggung yang dirasakannya tadi langsung hilang berganti dengan rasa kesal sekaligus malu.

"Dav, tidur?" sapa Devan lagi, kali ini Davia bersumpah ada tawa tertahan dalam nada bicara Devan.

"Nggak."

"Terus kenapa diem aja?"

"Nggak."

"Kalah, ya?" ledek Devan lagi, benar-benar jelas. "Makanya, jangan sok nyeramahin gue tentang sesuatu yang lo nggak yakin bisa lo lakuin dengan bener."

Davia tidak menjawab, ia memang telah melakukan kebodohan yang akan dimanfaatkan Devan untuk terus meledeknya.

"Berarti sekarang gue boleh dong nanya sama lo, apa lo nggak diajarin sopan santun dan etika nelepon sama nyokap lo?" tanya Devan lagi, tapi dengan nada tenang.

"Jangan sembarangan, ya, Kak! Lo nggak tahu apa-apa soal gue, nyokap gue, dan apa yang keluarga gue ajarin ke gue. Cuma karena gue lupa ngucap salam bukan berarti lo berhak mempertanyakan ajaran nyokap gue ke gue."

Devan tertawa, sinis. "Harusnya lo denger jawaban lo tadi ke gue sebelum lo ngomong hal yang sama ke gue beberapa hari lalu."

Davia tersedak. Jawaban Devan tadi berhasil membuatnya terdiam dan menyesali perkataannya waktu itu. Ia tidak tahu kenapa dengan bodohnya ia pernah berkata hal yang menyakitkan pada Devan.

"Maa—"

"Gue nggak butuh maaf lo. Berubah, itu cukup," jawab Devan yang membuat keheningan kembali terjadi di antara mereka. Devan menghela napas, lalu berkata, "Besok pulang sekolah gue ke rumah lo."

Tanpa sadar Davia menarik napas lega karena Devan memutuskan untuk tidak memperpanjang urusan mereka karena ia tahu persis bahwa posisinya kini salah. "Ya udah. Gue kirimin alamat gue."

"Oke."

Sambungan pun diputus, tanpa ada salam lagi. Kali ini Davia tidak merutuk, ia hanya memandangi layar ponselnya yang perlahan redup. Mungkin, karena ia tidak pernah berteman, ia tanpa sadar mengucapkan kalimat buruk pada Devan. Ia berjanji pada dirinya sendiri, mulai besok, ia akan lebih bersikap baik pada Devan, teman pertamanya setelah sekian lama.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang