◎ 11. Taman ◎

42.8K 5.9K 2.2K
                                    

Kak Jevan left the chat.

"Kenapa?" tanya Devan lagi, ia tidak mengerti apa yang ada di pikiran cewek di hadapannya.

Davia mengerucutkan bibir, lalu menghentak kakinya kesal. "Dia itu Kak Jevan, pacar RP gue."

"Terus?"

"Terus dia hapus akunnya mendadak, nggak pake ngomong apa-apa sama gue," jawab Davia lagi. "Gue nggak tau kenapa, salah gue apa, masa dia ninggalin gue gitu aja."

Devan memandang Davia dengan skeptis. Ia melipat tangannya di dada. "Penting? Dia kan cuma pacar bohongan lo. Mendingan lo mikirin gimana caranya minta maaf sama gue karena udah telat."

"Penting, lo nggak akan ngerti. Dan oh, gue udah minta maaf," jawab Davia ketus. "Soal delapan menit lo yang terbuang itu, gue bakal traktir makan nanti selesai belajar. Apa lagi?"

"Ditambah obrolan ini, waktu gue yang kebuang jadi dua belas menit. Berarti lo harus tambah traktiran lo," sahut Devan. Ia menarik tas Davia lagi, menuju pintu masuk perpustakaan.

Davia tidak bergerak, ia memandang ponselnya terus. "Dari mana dua belas menit? Masih lewat sepuluh di gue."

Devan berhenti, lalu mengambil ponsel Davia. Menekan beberapa kali layarnya, kemudian mengembalikannya lagi pada Davia. "Sekarang jam lo udah sama menit dan detiknya kayak gue. Nggak ada alesan terlambat atau beda menit lagi. Ngerti?"

Davia memandang ponsel di tangannya, lalu beralih memandang Devan. "Bisa banget ya, Kak, jangan-jangan lo malah nyepetin jam gue supaya gue nggak terlambat lagi," kata Davia curiga.

Perkataan itu membuat Devan tertawa, ia baru sadar belakangan ini banyak tawa yang telah dihasilkannya. "Bodoh."

"Apa kata lo?" tanya Davia ketus, ia sebenarnya sangat tidak dalam kondisi hati yang baik karena Jevan menghilang, tapi ... dia memutuskan untuk menutupinya lagi. Devan tidak akan peduli, untuk apa dia bercerita?

"Lo bodoh, mana mungkin gue ngelakuin itu," jawab Devan menggantung, "tapi ide lo boleh juga. Nanti gue lakuin deh. Sekarang kita harus belajar karena debat sama lo nggak akan ada abisnya." Devan menarik tas Davia lagi.

"Kak Devan!" rengek Davia, ia semakin kesal dengan tingkah kakak kelasnya yang menyebalkan itu. "Bisa nggak kita berenti belajar hari ini?"

Devan menghentikan langkah, ia berbalik memandang Davia tajam. "Kenapa?"

"Karena gue nggak mood," jawab Davia. Tadinya ia berusaha menutupi perasaannya, tapi setelah menimbang dengan matang dan menyadari Devan akan terus mendebatnya, ia memutuskan untuk memberanikan diri mengatakan itu.

"Kenapa?"

"Ya nggak mood."

"Nggak mood itu pasti ada alasannya," kata Devan lagi. "Dan gue nggak bisa biarin mood lo pengaruhin apa yang harusnya kita kerjain."

Davia menghela napas. "Iya gue tau orang yang perhitungan kayak lo nggak akan mau rugi. Ya udah ayo belajar."

Setelah mengatakan itu Davia berjalan mendahului Devan dengan cepat, meninggalkan cowok berkacamata itu dalam kondisi yang sedikit membingungkan. Cowok itu tahu ada beberapa masa di mana cewek akan begitu sensitif dan ia merasa perlu menoleransinya.

"Davia."

Davia menoleh. "Hm?"

"Gue nggak bisa kalo batalin jadwal belajar hari ini," kata Devan sambil berjalan ke arah Davia. Davia hanya memutar bola matanya, kesal, lalu memutuskan untuk terus melangkah.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang