"Halo?"
Davia menggigit bibirnya, takut dan khawatir. Devan menyapa beberapa kali, lalu memberikan ponsel itu pada Davia.
"Nggak ada suaranya," kata Devan.
Davia menghela napas lega. Ia mengambil ponsel dari Devan dan langsung mematikan panggilan yang masih tersambung. "Tante gue dari Jogja. Sinyalnya jelek kali."
Devan tidak menjawab dan hanya mengangguk. Kejadian tadi benar-benar membuat Davia sangat terkejut. Untung saja Tante Anna belum bersuara sehingga Devan tidak menaruh curiga lebih.
"Kak, materi keterbagian ini selalu ada?" tanya Davia berusaha mengalihkan perhatian.
Devan mengangguk. "Paling banyak cuma dua soal, tapi lo tetep harus kuasain itu. Kita harus jawab soal dengan benar sebanyak mungkin."
"Lo bisa ngerjain ini?" tanya Davia lagi.
Devan mengangkat salah satu alisnya. "Kalo gue nggak bisa, yang ngajarin lo tadi siapa?"
Tawa Davia pecah, ia merasa konyol dengan pertanyannya sendiri. Saking kerasnya ia tertawa, Davia tidak sadar Devan memperhatikannya sedari tadi. Ada sesuatu yang membuat Devan nyaman bersama Davia, tapi Devan tidak tahu itu apa.
"Dav," panggil Devan pelan.
Davia menghentikan tawanya dan memandang Devan. "Kenapa, Kak?"
"Nggak," jawab Devan, ia melihat jam di tangannya. "Udah sore, gue langsung balik, ya. Lo jangan tidur kemalaman, besok Sabtu dan kita bakal adain double kelas."
Cewek di hadapan Devan itu memajukan bibirnya, sedikit kesal. Ia memang mencintai angka dan matematika, tapi tidak sampai membuatnya begini terobsesi.
"Kak ... libur dong," kata Davia. "Besok Sabtu kan, biar jalan-jalan dulu."
Devan menggeleng. Ia merapikan barangnya dan segera berdiri. "Gue balik sekarang, sampai ketemu besok jam 11 siang."
Setelah mengatakan itu, Devan sudah menghilang di balik pintu ruang tamu. Davia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Ia tidak paham kenapa Devan sama sekali tidak bisa diajak bermain-main.
Dengan malas cewek itu merapikan tumpukan kertas dan buku yang berserakan di meja, lalu membawanya ke kamar. Ia harus segera mandi sebelum semakin sore.
Sesampainya di kamar, cewek itu menyambungkan pengisi daya ke ponsel miliknya lalu berlari ke kamar mandi. Karena merasa sangat lelah, ia mandi dengan cepat.
Hanya dalam waktu dua puluh menit, cewek itu sudah duduk di kursi belajar sambil mengutak-atik ponsel. Rambutnya yang masih basah tergulung handuk. Ia membuka daftar kontak, kemudian menekan nomor seseorang.
"Selamat sore, Tante," sapa Davia.
Awalnya tidak terdengar jawaban dari ujung sana, hanya suara berisik yang tidak jelas. Ketika Davia akan mematikan sambungan ponselnya, suara Tante Anna terdengar.
"Davia, ya?" tanyanya, nada suara Tante Anna sangat antusias. "Tadi itu Devan, Dav? Kalian lagi jalan berdua?"
Davia mengangguk, lalu menggeleng. Ia merutuk kebodohannya yang mengangguk padahal Tante Anna tidak dapat melihatnya sekarang. "Iya, Tante. Habis belajar bareng."
"Tante tadi seneng banget bisa denger suara Devan, hampir aja Tante lupa dan nyapa dia," jelas Tante Anna, "kabar Devan baik, Dav? Gimana dia? Om Akbar?"
Davia menarik napas. "Baik, Tante. Kak Devan tetap kayak biasa, galak dan tegas juga kaku. Davia tadi diomelin sama dia. Kalau Om Akbar katanya udah mendingan, Tante."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...