Tangan Devan mengepal ketika melihat mata adik kelas sekaligus rekan satu timnya itu mulai terbuka. Ia berusaha menahan rasa kesal dan bersikap wajar.
"Di mana nih, Kak?"
"Rumah sakit," jawab Devan. "Lo pingsan, dan suhu badan lo tinggi. Kata dokter, lambung lo luka. Lo belum makan dari kapan?"
Davia menggigit bibir. "Terus sekarang udah nggak apa-apa, kan? Gue mau balik aja."
"Nyokap lo udah gue telepon dan lagi menuju ke rumah sakit," kata Devan lagi. "Sebenernya ngapain sih lo nggak makan? Lomba makin deket dan lo malah bikin ulah kayak gini. Jaga kesehatan kek."
"I—ih, maksud gue nggak gitu," sanggah Davia. "Gue cuma males makan aja. Semalem juga kan lo bilang supaya gue—"
"Lo diet?" tembak Devan langsung. "Nggak gitu caranya. Diet itu bukan nggak makan. Lo ini pinter-pinter rada lola, ya."
"Maksudnya?"
Belum sempat Devan menjawab, terdengar suara pintu yang dibuka. Dari balik pintu, masuklah mama Davia yang langsung menghampiri anaknya dengan khawatir.
"Makasih ya, Nak Devan, udah anter Davia ke sini," kata mama Davia pelan. Pandangannya beralih ke anaknya yang masih terbaring lemah. "Kamu kenapa sih, Dav?"
"Nggak apa-apa—"
"Lambungnya luka, Tante. Kata dokter, mungkin Davia nggak makan teratur atau nyoba diet, jadinya kayak gini," potong Devan cepat.
Mata Davia membulat kesal mendengar pernyataan kakak kelasnya itu yang sekarang malah tampak tidak peduli. "Nggak gitu, Ma, Davia cuma lagi males makan," jawabnya pelan.
Mama memperhatikan wajah anaknya, lalu menggeleng. "Kalo kamu mau diet, kita ke dokter gizi. Dari dulu Mama nunggu kamu yang minta, tapi kayaknya kamu nyaman-nyaman aja dengan kondisi kamu. Cuma, karena sekarang kamu keliatannya tertarik diet, ayo kita konsul."
"Eh," Davia akan menyanggah, tapi mulutnya langsung tertutup lagi. "Iya, Ma. Sekarang Davia mau pulang aja."
"Ya udah, Mama coba ngomong sama dokternya dulu," kata Mama sambil berjalan ke luar ruangan.
Suasana kembali hening sesaat, kemudian Davia membuka mulutnya. "Lo ngapain sih, Kak, pake ngadu-ngadu segala sama Mama?"
"Nyokap lo nanya, ya gue jawab."
"Ya kan nggak usah bilang soal gue nyoba diet," jawab cewek itu ketus. "Gue nggak diet, kok."
"Lo itu nggak pinter bohong," sahut kakak kelasnya. "Banyak yang harus lo perhitungkan kalo mau diet. Berapa asupan karbohidrat sehari yang lo butuhin, gimana proteinnya, apa yang harus diubah."
Davia mengunci mulut rapat-rapat.
"Banyak banget hal yang nggak bisa asal lo lakuin. Jangan diet kalo nggak tau gimana caranya, bukan kurus malah sakit kayak gini jadinya. Gue udah bilang juga, kan, yang penting itu kualitas tubuh lo, kurus cuma bonus?"
Cewek itu masih diam. Semburat merah muncul di pipinya. Yang dikatakan Devan tadi memang benar, ia juga tidak paham kenapa sejak pagi tadi ia enggan makan dan memutuskan untuk diet yang tidak sehat padahal kondisi tubuhnya sedang lelah.
"Gue balik dulu, hari ini bokap keluar dari rumah sakit," kata Devan. "Jangan ngelakuin hal konyol lagi. Gue khawatir."
Kemudian cowok itu berjalan ke luar ruangan dan menghilang. Pipi Davia kembali memerah, ia tidak yakin dengan yang didengarnya barusan. Devan khawatir? Apakah mungkin?
Segera ia menampar pipinya keras agar kembali sadar. Ia tidak boleh berharap. Biasanya, apa yang diharapkan tidak akan menjadi kenyataan. Lagipula, kakak kelasnya itu pasti hanya khawatir karena olimpiade semakin dekat, bukan karena hal lain, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Ficção AdolescenteDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...