"Oh iya, Dav, gue kasih tau sama lo satu hal lagi. Devan itu punya gue, jadi jangan pernah mikir lo bisa dapetin dia meskipun lo sering ngabisin waktu sama dia!"
Setelah mengatakan itu, Davia hanya mendengar suara langkah kaki yang menjauh. Ia merasa takut, tapi juga begitu bodoh karena mengalami hal yang sama berulang kali.
Ia begitu kesal dengan cewek yang menguncinya di luar, tapi juga sangat kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak membiarkan siapa pun menyakitinya lagi. Ia harusnya bisa menjaga dirinya sendiri.
Davia memeluk tubuhnya sesaat, kemudian teringat dengan ponsel yang masih ia simpan di saku rok abu-abunya. Ia bersyukur karena tadi sempat memindahkan ponsel miliknya ke dalam saku rok. Padahal biasanya ia akan menaruh ponsel di saku seragam. Mungkin saja, dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya sekarang.
Ia mengecek ponsel itu dan nyaris melompat kegirangan ketika mengetahui bahwa ponselnya masih berfungsi dengan benar. Dengan cepat ia mengetik pesan untuk Devan. Ya, hanya Devan teman yang dimilikinya sekarang. Ia tidak bisa meminta tolong siapa pun lagi.
Kak, gue kekunci di kamar mandi cewek. Bisa tolong bukain kan nanti? Balik sekolah aja.
Setelah mengirim pesan itu, Davia berjalan ke arah cermin. Ia memperhatikan pantulan dirinya sendiri di sana. Rambut lepek dengan baju seragam basah benar-benar membuat cewek itu tampak jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Ia mulai mengutuk lagi, andai saja Davia secantik Sana, idol yang diperankannya di dunia RP. Mungkin, hidup Davia akan lebih baik sekarang. Tidak akan ada yang mem-bully cewek secantik Sana, kan?
Davia menggeleng, ingin sekali dia menampar pipinya sendiri yang berpikiran seburuk itu. Kata-kata Devan kembali terngiang di telinga Davia. Ia harus mencintai dirinya lebih sebelum membiarkan orang lain mencintainya. Ia harus menyayangi dirinya sendiri, sebelum orang lain boleh menyayanginya.
Cewek itu memandang lagi pantulannya di cermin. Ia menepuk bahu kirinya dengan tangan kanan, lalu tersenyum. "Hai, Davia. Kamu melakukan banyak hal dengan sangat baik. Kamu itu penting. Kamu cantik. Terima kasih karena kamu selalu menjadi kamu."
Perasaan hangat melingkupi Davia, ia menangis. Kali ini tangis yang benar-benar melegakan. Ia membiarkan air mata itu turun kali ini. Apa yang dialaminya ini sangat di luar ekspektasinya.
Ia tersenyum sekali lagi pada dirinya sendiri, lalu menghapus air mata yang membasahi pipi tembamnya. Setelah itu ia mencuci muka dan kembali menunggu dengan perasaan lebih tenang. Davia mulai mengerti, kesialan yang dihadapimya ini bukan karena ia gendut, tapi karena ia kurang peduli dengan dirinya sendiri.
Untuk membunuh waktu, Davia membuka ponsel dan mengecek aplikasi perpesanannya. Ia merindukan dunia keduanya dan memutuskan untuk kembali sebentar. Kali ini bukan karena ia membutuhkan pelarian, tapi karena ia rindu.
Notifikasi pesan kembali terdengar dari ponsel Davia. Ia menggerakkan jarinya lagi. Ia tersenyum membaca pesan yang masuk ke sana, hatinya semakin menghangat ketika menyadari bahwa banyak orang yang peduli padanya.
Davia melihat jam di layar ponselnya, lima menit lagi bel pulang berbunyi. Ia yakin Devan akan membukakan kunci kamar mandi, meskipun pasti cowok itu akan sedikit kesal.
Jari Davia kembali menggulir pesan hingga sampai di sebuah roomchat nama Jevan. Ia menimbang, kemudian membuka pesan itu. Banyak pesan dari Jevan yang ia abaikan, dan mungkin, jika saat ini ia memutuskan untuk berdamai dengan dirinya sendiri, ia juga harus berdamai dengan Jevan, orang yang melukainya.
Davia mengetik pesan pada ruang obrolannya dengan Jevan. Sangat singkat, hanya dua kata. Namun, tiba-tiba pesan balasan masuk dengan cepat.
Apa kabar?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...