"Ngapain naik angkot? Kita kan searah. Gue bonceng ajalah."
Perkataan Devan membuat mulut Davia terbuka lebar. Cewek itu tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Devan.
"Dav, lo denger nggak?" kata Devan sambil mengibaskan tangannya di hadapan Davia.
Mata Davia mengedip beberapa kali, lalu mulutnya tertutup rapat. Ia memandang Devan ragu. "Boncengan sama lo?"
"Iya," jawab Devan sambil berjalan menuju parkiran lagi. "Kenapa? Lo nggak mau naik motor?"
Davia panik ketika Devan menanyakan hal itu dengan nada suara Devan kesal. Ia berlari menyusul Devan, lalu berhenti di depannya. "Nggak, nggak. Bukan gitu. Cuma, emm. Cuma ...."
"Cuma apa?"
"Motor lo nggak bakal kenapa-napa kalo ngebonceng gue?" tanya Davia ragu, ia memilin ujung roknya. Pipi gembil cewek itu memerah dan pandangan matanya tidak fokus.
Sesaat Devan hanya terdiam, memandangi Davia berulang kali. Lalu tertawa keras, sangat keras hingga Davia mengerucutkan bibir dan memukul lengan cowok itu.
"Ngapain ketawa sih?" rajuk Davia. "Nggak ada yang lucu tau!"
Devan masih tertawa, sangat keras. Ia tidak peduli jika orang di sekitarnya kini tengah memperhatikan mereka. Hanya Davia yang masih berusaha meredam tawa Devan sambil memukul lengan cowok itu berulang kali.
"Lo itu ...," Devan menggantung kalimatnya, tertawa lagi, "aneh. Ada ya spesies kayak lo gini?"
Davia semakin memajukan bibirnya, ingin sekali ia menampar cowok yang kini sibuk membersihkan kacamatanya karena sempat berembun saat dia tertawa lebar. "Maksudnya?"
"Lo pikir motor gue bakal kenapa?" tanya Devan kembali serius, ia memakai kacamatanya lagi. "Bakal hancur jadi gepeng karena ngebonceng lo?"
"Mungkin?" jawab Davia tidak yakin, ia mengigit bibir bawahnya. "Tukang ojek nggak pernah mau bawa gue. Katanya nanti motornya rusak, turun mesin."
Perkataan Davia membuat Devan mendecak. "Alasan doang. Berat lo berapa?"
"Emm, sembilan puluh delapan kilogram," jawab Davia, malu.
"Berat gue enam puluh lima, ditotal jadi 163 kilogram. Belum nyampe dua kuintal. Motor gue nggak bakal hancur cuma karena ngebonceng lo sekali," jelas Devan.
Davia mengangguk. "Tapi kan, berat beban maksimal motor itu 120 kilogram. Berarti kelebihan empat puluh tiga kilogram."
Devan tertawa kesal, ia menarik tas Davia lagi. "Udahlah nggak usah bawel. Motor gue kuat, nggak akan rusak karena lo naikin."
"Kak! Lo narik-narik mulu udah kayak apaan aja gue," jawab Davia kesal, tapi langkahnya mengikuti Devan sampai di depan sebuah motor berwarna biru keabuan.
Devan memberikan sebuah helm kepada Davia, lalu memakai helm miliknya sendiri. Ia menyalakan mesin dan menaiki motornya. "Pake, cepet naik."
Davia yang masih bingung hanya mengangguk. Ia mengenakan helm berwarna biru tua itu lalu duduk di jok belakang Devan. Setelah Davia naik dan sudah duduk dengan tenang, Devan segera mengarahkan motornya ke rumah Davia.
Untungnya, jalanan tampak sedikit sepi. Devan mengemudikan motor dengan kecepatan cukup tinggi dan membuat Davia sedikit ketakutan. Davia mengetuk bagian atas helm Devan.
"Kak, gue takut. Bisa pelan-pelan nggak?"
Devan memelankan laju motornya agar suara Davia terdengar. "Apa? Kencengan dikit."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Ficção AdolescenteDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...