◎ 29. Pecahnya Sebuah Tim ◎

32K 4.8K 1.7K
                                    

"Lo ... ngapain?" tanya Davia, suaranya bergetar antara ingin menangis dan marah. "How dare you!"

Devan mengangkat bahu. "Ngelakuin hal yang seharusnya gue lakuin dari dulu."

"Berani banget lo ngelakuin ini, Kak? Sekalipun gue emang deket sama lo, lo sama sekali nggak berhak buat ikut campur urusan gue terlalu jauh!" bentak Davia, wajahnya memerah menahan marah. "Lo nggak berhak ngapus akun RP gue!"

"Dan lo nggak berhak jadi mata-mata nyokap gue," jawab Devan tenang. "Udah berapa kali gue bilang sama lo buat berenti ikut campur urusan gue?"

Mata Davia berkaca-kaca. "Kalo gue nggak ketemu nyokap lo, gue nggak akan tau soal itu! Dan kalo aja nyokap lo nggak minta tolong sama gue, sedikit pun gue nggak akan nyentuh urusan lo!"

"Ngapain lo ke rumah sakit waktu itu?" balas Devan.

Davia menggigit bibirnya. "Karena ... karena gue ngerasa harus ngelakuin itu, gue temen tim lo dan gue juga harus perhatian sama bokap temen gue!"

Senyum sinis Devan terukir. "Itu salah lo, terlalu ikut campur. Gue nggak perlu lo buat merhatiin urusan gue. Gue cuma butuh otak lo supaya kita bisa menang olimpiade ini!"

Kali ini kesabaran Davia sudah sampai pada batasnya. Tangannya mengepal. "Jadi menurut lo, gue ini cuma barang yang bisa dimanfaatin?"

"Iya," jawab Devan, ia balas menatap Davia tajam. "Bukannya gue pernah bilang sama lo, kalo urusan kita cuma olimpiade ini? Gue memang cuma butuh otak lo."

Dibanding kalimat yang tadi diucapkan Rendi, perkataan Devan lebih menusuk untuk Davia. "Kalo lo cuma butuh otak orang yang pinter Matematika," ia memasukkan ponsel ke tas dan memutar tubuhnya, "lo cari aja orang lain buat gantiin posisi gue. Kali ini gue mundur."

Devan tidak menjawab apa pun, ia membiarkan Davia pergi menjauh. Perkataan Davia hanya dianggapnya tidak serius. Ia mengacak rambutnya, kesal. "Kenapa gue bisa kehilangan kontrol gini?"

◎ ◎ ◎

Mama Davia mengerutkan kening melihat anak semata wayangnya memasuki pintu rumah lalu berlari ke atas tanpa menyapa. Mama melihat jam di dinding, baru dua jam berlalu sejak anaknya pergi. Biasanya, Davia dan Devan akan belajar sampai sore.

Merasa tidak tenang, Mama menyusul Davia ke kamar. Diketuknya pintu kamar anaknya itu tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Mama mendekatkan telinga ke arah pintu, dan terdengar suara isak tangis pelan.

"Dav?" panggil Mama.

Tidak ada jawaban lagi, membuat insting keibuannya bergerak dan membuka pintu kamar Davia. Ternyata pintu itu tidak terkunci. Mama melihat Davia tidur menyamping ke arah dinding sambil memeluk boneka beruang besar miliknya. Pundaknya naik-turun, terisak.

"Kamu kenapa, Dav?" tanya Mama, ia berjalan mendekat ke tempat tidur Davia. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Davia mengeratkan pelukannya pada boneka beruang, berusaha menenggelamkan wajah di sana. Namun, Mama tetap mendekat dan duduk di sisi tempat tidur, lalu mengusap rambut anaknya itu.

"Nangis dulu, Dav. Mama tungguin," kata Mama sambil mengusap rambut Davia. "Kamu tau, kan, kalau Mama bakal selalu nemenin kamu? Nggak usah khawatir, Sayang."

Tangis Davia makin keras. Ia memutar tubuh tiba-tiba lalu memeluk perut Mama dengan erat. "D—Davia ... Davia benci sama diri Davia, Ma."

Jawaban itu membuat hati Mama seperti teriris. Apa yang sudah terjadi dengan anaknya ini dan tidak ia ketahui sama sekali?

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang