Sore itu, tak jauh dari rumahnya, Davia duduk di bawah rindangnya sebuah pohon apel besar yang menjadi persinggahannya setelah berlari cukup lama sebagai olahraga yang kini menjadi rutinitas yang wajib ia lakukan setiap harinya.
Tak banyak orang-orang yang berada di sana. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang tengah berlarian, bermain bersama teman sebayanya diikuti pengawasan dari orang tua mereka masing-masing dari jarak jauh. Sisanya, hanya terlihat menyendiri dengan kesibukan sendiri.
Di tengah istirahatnya, Davia dengan cepat membuka mata pada saat ia memejamkannya beberapa detik yang lalu, menjadi desisan jengkel ketika sebuah apel dengan ukuran yang mirip dengan kepalan tangannya jatuh tepat mengenai kepalanya. Ia melirik sinis ke atas, memandang pohon yang menyebalkan itu.
Ia berdecak sekilas saja, berusaha untuk tidak mengurusi pohon tersebut. Baginya, mungkin tadi hanya kesialan semata. Maka, ia kembali memejamkan matanya.
Tapi, lagi-lagi apel kembali jatuh di atas kepalanya. Davia kesal bukan main. Jelas saja, sebab apel yang jatuh itu sudah meninggalkan rasa yang lumayan membuat kepalanya merasa nyeri.
“Kok makin ngeselin ya, nih pohon?!” ketusnya yang kemudian bangkit sambil menatap pohon apel tersebut dengan jengkel.
Hingga seorang cowok muncul mengambil dua apel sebelumnya yang terjatuh, namun dibiarkan oleh Davia. Gadis itu tampak kaget ketika matanya menangkap dengan jelas bahwa sosok di depannya sekarang adalah kakak kelasnya.
“Kak Devan?”
Cowok itu meliriknya seraya menggigit dan mengunyah apel yang baru saja ia bersihkan dengan menggosoknya ke baju.
“Jadi, ini ulah lo, Kak?” Melihat katapel yang berada di genggaman sebalah kiri Devan, Davia yakin bahwa cowok itu memang menyentil apel-apel yang ia makan dengan katapel yang dibawanya.
“Mau?” tawar Devan, wajahnya tampak santai, seolah tidak peduli dengan kekesalan yang jelas ditunjukkan oleh Davia.
“Gak, makasih!” jawab Davia ketus. Lantas, Devan menarik kembali tangannya yang sempat terulur ketika menawarkan apel tersebut.
“Ngapain lo di sini?”
“Ya habis olahraga lah, masa—“
Tiba-tiba, Devan terkekeh. Membuat Davia sedikit ngeri melihatnya. Memangnya, apa yang lucu sehingga Devan terkekeh begitu?
“Ada yang lucu?”
“Ya, elo.”
“Gue?” Davia mengerutkan dahinya, sebelum ia menatap dirinya secara tak langsung dan sadar bahwa Devan sedang mengejeknya. “Oh, maksud lo, gue lucu gitu karena masih kelihatan gendut walaupun—“
“Gue gak bilang, ya,” sela Devan cepat sembari mengunyah lagi apel yang ada ditangannya. Cowok itu bersandar di pohon dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Tapi jujur, lo lumayan kurus sekarang,” puji Devan tiba-tiba. Padahal, ia baru saja mengejek Davia, bukan? Ya, kira-kira itu yang ditangkap oleh Davia.
Davia memutar bola matanya, masih sebal.“Ngomong-ngomong, apa kabar, Dav? Rasanya, gue udah lama banget nggak ketemu sama lo,” ucap Devan yang menjatuhkan pandangan pada rerumputan yang menjadi tapakannya.
Mendadak, Davia merasa sesak di dadanya muncul. Ia hampir lupa bahwa ini pertemuan pertamanya kembali setelah hari itu. Ya, sejak perjalanan mereka ke bukit Moko dan akhirnya memutuskan untuk menghilang seolah tak pernah kenal satu sama lain, mereka tak pernah lagi terlihat atau bahkan saling bertemu. Berakhirnya hubungan sebagai rekan dalam tim Olimpiade, juga mengakhiri pertemuan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...