◎ 23. Serangan Lanjutan ◎

33.7K 4.7K 1.6K
                                    

"By, balik please. Aku kangen banget. Aku minta maaf."

Kening Davia berkerut mendengarnya. Ia yang tidak tahu siapa penelepon itu langsung menjauhkan ponsel dan melihat nama peneleponnya. Seketika tubuh Davia menegang. Ia mematikan telepon tersebut.

"Kenapa, Dav?" tanya Mama sedikit khawatir.

Davia menggeleng. "Ada hantu bisa nelepon, Ma."

"Hantu?"

"Iya, hantu," jawab Davia. "Dia udah mati RP, tapi tau-tau bangkit dari kubur."

Mama meringis, tidak mengerti apa yang Davia katakan. "Terus gimana Devan tadi?"

"Ah iya," Davia menepuk keningnya pelan, "jadi kemarin di rumah sakit itu, Davia malah ketemu orang yang katanya mama Kak Devan. Setelah Davia perhatiin, emang mukanya mirip Kak Devan, sih, Ma. Dan sikapnya juga sedikit banyak mirip."

Davia menarik napas sesaat, kemudian melanjutkan, "Mamanya ini suka merintah, dingin, persis kayak Kak Devan. Kalo mukanya, di hidung dan rahang itu mereka mirip banget. Suaranya juga sedikit mirip," jelas Davia. Tiba-tiba saja cewek itu terdiam. Ia menyadari sesuatu, suara penelepon tadi juga terdengar sangat familiar.

"Terus, Dav? Mamanya bilang apa?" tanya Mama memecah lamunan Davia.

Davia mengerjapkan mata beberapa kali. "Oh, mamanya minta Davia jagain Kak Devan."

"Jagain gimana? Devan kan bukan bayi," jawab Mama jahil.

"Jagain ... nggak tau juga, Ma. Bingung, sih."

Mama tertawa mendengar jawaban Davia. "Terus sebenernya apa yang jadi pikiran kamu?"

"Kak Devan pernah bilang sebelumnya kalo mamanya udah nggak ada, Ma," jawab Davia pelan, ia menyesap susunya, "dan dia dengan tegas bilang supaya Davia nggak ikut campur urusannya lagi. Sekarang Davia udah tau kalo mamanya masih ada. Bahkan Davia jadi mata-mata mamanya. Gimana kalo nanti Kak Devan tau?"

"Kamu tau nggak kenapa Devan bilang mamanya udah nggak ada?"

Davia menggeleng. "Kayaknya hubungan Kak Devan sama mamanya nggak baik, Ma. Karena mamanya juga minta Davia jangan bilang apa-apa ke Kak Devan."

"Beliau bilang nggak alasannya apa?"

Davia mengetuk dagunya dengan jari, lalu berkata, "Nggak? Kayaknya cuma cerita kalau mamanya itu berusaha hubungin Kak Devan, tapi selalu diabaikan sama Kak Devan. Davia nggak tega, Ma, liat mamanya nangis."

Mama mengusap punggung tangan Davia. "Terus keputusan kamu sekarang apa?"

"Mungkin jalanin dulu? Mama Kak Devan beneran khawatir sama Kak Devan, Davia bisa lihat dari matanya," jawab Davia. "Masalahnya, gimana biar Kak Devan nggak tau?"

"Bersikap sewajarnya," jawab Mama. "Jangan tunjukkin kalo kamu tau sesuatu atau lagi ngumpetin sesuatu. Bikin aja seolah-olah kamu nggak paham apa pun."

Davia menghela napas. "Oke, Ma. Doain Davia supaya nggak ketauan, ya? Davia udah kayak mata-mata FBI, nih."

Mama tertawa. "Iya, Sayang. Yang penting apa yang kamu lakuin ini baik dan nggak merugikan orang lain, Mama bakal dukung."

"Makasih ya, Ma," kata Davia sambil berhambur memeluk mamanya. "Davia nggak tau apa yang dialamin Kak Devan, tapi Davia harap Kak Devan mau sedikit aja nantinya berbagi sama Davia."

"Kenapa?" tanya Mama.

"Kenapa apa, Ma?"

"Kenapa kamu mau Devan berbagi sama kamu?" tanya Mama sambil mengusap punggung anak semata wayangnya itu.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang