Devan menyalakan motornya, lalu berkata, "Bokap gue bermasalah. Gue harus cepet ke sana."
Davia hanya bisa menuruti setiap perkataan Devan saat itu. Ia langsung mengeluarkan ponsel dan mengirim kabar kepada mamanya kalau ia akan pulang terlambat hari ini.
Devan mengemudikan motor dengan kecepatan sedang, ia berusaha menghindari kemacetan dengan memasuki beberapa jalan kecil. Davia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.
Ketika mesin motor dimatikan pun, Devan masih diam tanpa suara. Davia memegang ujung jaket Devan yang berjalan cukup cepat di depannya. Bukan karena apa, ia takut jika Devan panik dan meninggalkannya.
Keheningan terjadi ketika keduanya berada di dalam lift menuju lantai empat. Davia hanya merasa tubuh Devan terasa sedikit bergetar dari balik jaketnya, ia membetulkan posisi kacamatanya berulang kali sambil mengacak rambut.
"Kak," panggil Davia takut.
Devan menoleh, tapi tidak menghentikan langkahnya. "Kenapa?"
"Gue ... gue—"
Perkataan Davia terhenti ketika seseorang menghampiri mereka yang baru saja keluar dari dalam lift. Orang itu terlihat ramah dan menenangkan, ia menepuk bahu Devan, lalu mengajaknya menyusuri lorong.
"Papa gimana, Om?" tanya Devan.
Orang yang dipanggil Om itu tersenyum kecil. "Udah mendingan, tapi dia nyari kamu dari tadi."
"Kenapa bisa?" tanya Devan lagi.
Langkah keduanya berhenti di depan satu ruangan bernomor 412. Davia mundur, nalurinya berkata ia sebaiknya segera menjauh, mungkin Devan membutuhkan waktu untuk sendiri tanpa diganggu. Dari sudut matanya, Davia melihat Devan mengusap wajah, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan itu. Om yang tadi mengantar meremas bahu Devan, seolah menguatkan.
Jari Davia tertaut satu sama lain. Ia benar-benar merasa kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. Ia memutuskan untuk membuka ponsel dan mengamati isinya demi membuang waktu.
"Maaf, Dek, kamu temannya Devan?" tanya Om itu sambil tersenyum ramah.
Davia mengangguk. "Iya, Om. Teman satu tim olimpiadenya Kak Devan."
Keheningan kembali terjadi, hanya terdengar langkah kaki yang melewati lorong dan detik dari jarum jam. Davia terus berusaha sabar menanti, ia tidak boleh mengucapkan kalimat yang mungkin ia sesali nanti. Ia berulang kali meminta agar dirinya dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Kemarin ... kamu ke rumah Devan, kan?"
Davia mengangkat wajahnya, lalu mengangguk. "Iya, Om. Beberapa hari lalu."
"Itu pertama kalinya saya ngeliat temannya Devan datang ke rumah," kata om itu. "Devan banyak berubah, sejak kepergian ibunya sepuluh tahun lalu."
Dilema mulai dirasakan Davia. Cewek itu penasaran, tapi juga ragu, apa ia boleh mendengar semua cerita ini. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan ponsel dan mendengarkan apa yang bapak itu katakan.
"Om tetangga dari keluarga Devan sejak lama. Dulu mereka bahagia, sangat. Namun, tiba-tiba sesuatu—"
Pintu ruangan tempat Devan tadi masuk terbuka. Tidak lama kemudian muncul sosok Devan yang tampak sedikit kusut. Ia melangkah menghampiri Davia.
"Om Aris, Papa udah tidur. Makasih Om udah nemenin Papa tadi, saya nggak tau akan gimana kalau nggak ada Om," kata Devan sopan.
Om Aris mengangguk. "Ya udah, Dev. Kamu anter dulu temenmu pulang, udah malem juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...