◎ 4. Dunia Kedua ◎

66.7K 7.7K 3.3K
                                    

"Kalau gitu lo pulang sekarang," perintah Devan, tetap tenang, tanpa melihat ke arah Davia. "Dan inget, kita di sini cuma temen satu tim, mau gimana pun kita harus deket nanti, urusan kita cuma olimpiade ini. Jangan pernah mikir kalau lo berhak ikut campur urusan gue yang lain, paham?"

Otak Davia masih terus mencerna kalimat Devan meskipun sekarang Devan sudah tidak ada lagi di hadapannya. Ia berjalan pulang dengan setengah nyawa masih tertinggal di perpustakaan.

Satu sisi ia merasa begitu kesal dengan sikap Devan, tapi di sisi lain juga merasa bersalah karena mungkin omongannya menyakiti perasaan kakak kelasnya itu.

Sambil berjalan pulang, ia menendang batu kecil yang dilewatinya hingga akhirnya langkah kaki Davia membawanya pada sebuah kedai es krim. Davia menjentikkan jari, es krim adalah penawar galau yang paling ampuh. Ia pun memasuki kedai es krim itu dan memesan seporsi besar es krim tiramisu kesukaannya.

◎ ◎ ◎

Semalaman Davia memandangi ponselnya lagi dan lagi. Entah apa yang ia harapkan saat ini, mungkin Devan akan menghubunginya dan memberi kabar soal kelas tambahan selanjutnya atau ... entah apa.

Ting!

Dengan cepat Davia membuka notifikasi yang masuk ke ponselnya. Namun, ternyata yang ia temukan bukan pesan, melainkan sebuah berita daring yang sedang banyak dibicarakan orang-orang.

Mata Davia menyipit membaca judul berita itu, 'Kisah Adora dan Hilman Yang Fenomenal'. Rasa ingin tahunya tergelitik, ia pun menekan link yang tersedia.

Beritanya cukup panjang hingga sesekali Davia tertawa, mengerutkan kening, atau bahkan menggumam kesal tidak jelas. Tidak terasa jarinya terus menekan link lain yang berhubungan dengan berita itu. Terus, hingga ia tidak tahu sejauh apa ia sudah berselancar.

Merasa lelah, Davia melempar ponselnya ke tempat tidur lalu menjatuhkan diri di sebelahnya. Ia memejamkan mata, membayangkan dan meneliti lebih lanjut berita yang baru saja dibacanya.

Keningnya berkerut, mana mungkin seorang cewek bisa dengan begitu bodohnya tertipu sebegitu lama oleh cowok jadi-jadian? Dan bagaimana bisa ia jatuh cinta hanya karena dunia maya, yang bahkan ia tidak tahu sejauh mana ia bisa terluka?

Ia semakin penasaran, diambilnya lagi ponsel lalu diketikkan lagi sebuah dunia yang banyak disebut-sebut dalam berita tadi, 'Roleplayer'. Matanya terus menjelajah lembar demi lembar halaman berita daring yang menjelaskan apa itu roleplayer dan bagaimana cara memainkannya.

Tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, mata Davia pun mulai lelah. Ia mengeluh, kesal, informasi yang didapatnya belum cukup banyak. Entah kenapa ia sangat tertarik dengan dunia itu. Mungkin, karena dunia itu menjanjikan segalanya.

Namun, ia memutuskan untuk menaruh ponselnya di meja dan menarik selimut hingga kepala. Ia harus tidur sekarang, sebelum mamanya menyadari lampu kamarnya yang belum mati dan akan menghukumnya karena tidur terlalu larut.

Roleplayer dan dunia itu bisa menunggunya sebentar lagi. Iya, sebentar lagi. Besok ia akan mencari tahu lebih, lalu mungkin memasuki dunia penuh keajaiban itu.

◎ ◎ ◎

Pagi ini Davia bangun kesiangan, tidak seperti biasa. Ia berlari ke kamar mandi, lalu turun ke ruang makan tanpa memedulikan penampilannya sama sekali.

Sesampainya di sekolah pun, ia tampak sulit berkonsentrasi. Tidak banyak pertanyaan yang bisa ia jawab ketika ulangan lisan tadi, bahkan ia sempat kehilangan beberapa pertanyaan mudah. Di pikirannya kini hanya ada rasa penasaran tentang dunia yang semalam dijelajahinya itu.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang