Devan memandang Davia ragu saat mereka telah sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu tidak memiliki pagar, hanya lahan yang cukup luas dan dijadikan garasi juga jalan setapak.
"Nggak apa-apa kita dateng semalam ini?" tanya Devan ragu.
Davia mengangguk. "Nggak apa-apa, pasti Tante Anna juga ngerti karena kondisinya emang darurat. Lo telepon aja sekarang."
Cowok berkacamata itu mengambil ponsel dan menekan nomor mamanya. Tidak lama kemudian, panggilan telah tersambung.
"Ma, saya di depan rumah," kata Devan langsung. "Papa kritis, dan Papa butuh Mama. Mama bisa nggak ke rumah sakit?"
Terdapat sedikit jeda, lalu Devan mengangguk dan mematikan sambungan. Pandangannya beralih ke cewek di sebelahnya yang memandang penuh harap. "Nyokap bilang bakal keluar sekarang."
Baru saja kalimat Devan selesai, dari pintu terlihat Tante Anna keluar dan mengendap-endap. Davia sedikit terkejut ketika melihat wajah Tante Anna dari kejauhan. Devan menghampiri mamanya.
"Mama udah pesan taksi daring, tapi di pos satpam depan. Kalian naik apa?" tanya Tante Anna yang tampak tidak terkejut dengan kehadiran Davia, ia malah tersenyum seolah mengatakan bahwa ia sudah tahu Davia akan ada di sini.
"Pipi Mama kenapa?" tanya Devan pelan.
Tante Anna menutupi pipinya yang memar dengan rambut. "Kebentur. Jadi sekarang kalian naik apa?"
"Motor," jawab Devan singkat. "Mama berangkat duluan aja, saya sama Davia nyusul di belakang."
Tante Anna mengangguk. Mereka bertiga berjalan menuju pos satpam tanpa suara apa pun, hanya terdengar langkah kaki. Sampai di pos satpam, taksi yang dipesan sudah ada. Tante Anna segera naik lalu menuju rumah sakit meninggalkan Devan dan Davia yang menyusul dengan motor.
"Dav," panggil Devan saat motor mulai berjalan.
Davia mendekatkan tubuhnya ke arah Devan. "Iya, Kak?"
"Kenapa nyokap gue memar gitu pipinya, ya?"
Pertanyaan itu membuat cewek yang duduk di boncengannya terdiam. Ia sama sekali tidak tahu akan menjawab apa, bagaimana jika jawabannya ternyata memancing emosi cowok ini?
"Nggak tau, Kak. Tadi Tante Anna bilang kan kebentur," jawabnya pelan.
Devan menggeleng. "Bohong pasti, gue yakin. Apa mungkin karena suaminya?"
Davia menepuk bahu kakak kelasnya itu pelan, berusaha menenangkan. "Nggaklah, Kak. Masa masih aja ada suami yang tega kayak gitu?"
"Bukan nggak mungkin, Dav."
"Iya sih," jawabnya pelan, "tapi kita harus mikir positif. Gue yakin bukan karena suaminya nyokap lo. Ya udah mending lo ngebut sekarang, Kak. Nanti Tante Anna keburu nyampe terus kita ketinggalan."
Devan tidak menjawab, ia mempercepat laju motornya. Sangat cepat, hingga Davia harus berpegangan pada pinggang cowok itu dengan erat. Ia merasakan amarah dari Devan, atau mungkin rasa khawatir dan frustrasi? Dan ia membenci itu semua. Ia ingin rekan satu timnya ini baik-baik saja, tanpa terluka sedikit pun.
◎ ◎ ◎
Benar yang Davia katakan, Tante Anna sudah sampai di ruang ICU ketika mereka sampai di sana. Devan melangkah ke kursi dan duduk.
"Semoga kondisi Om Akbar membaik, Kak," kata Davia pelan. Ia duduk di sebelah Devan, kemudian mengeluarkan ponselnya.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam sembilan lewat lima belas," jawab Davia. "Kenapa, Kak? Capek, ya? Maaf gue bikin lo capek hari ini. Pake minta dianterin ke mana-mana, harusnya tadi gue-"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...