Gadis chubby yang bernama Davia itu sungguh tidak sabar akan kedatangan kakak kelasnya, Devan. Davia memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin.
‘‘Sip, udah cocok!’’
Tiba-tiba, ponsel Davia bergetar. Pesan masuk dari kakak kelasnya.
Gue di bawah
Davia bergegas memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya. Devan terlihat sedang berbincang dengan ibunya Davia.
‘‘Ma, Davia berangkat dulu, ya."
“Iya, hati-hati ya Davia, Nak Devan,” balas ibunya Davia.
“Ayo, kak!” Davia berseru senang. Melihat tingkah adik kelasnya itu, Devan tersenyum.
π
“Kita mau ke mana, Kak?” tanya Davia di perjalanan.
“Lihat aja nanti,” balas Devan.
Davia mengerucutkan bibirnya kesal. Devan yang melihatnya dari kaca spion diam-diam tersenyum geli. Cukup lama perjalanan yang ditempuh oleh Devan dan Davia. Begitu sampai, Davia langsung turun dari motor.
“Pantai?” Davia bertanya dengan heran.
Devan mengangguk. “Ayo, ikut gue,” ajak Devan dan Davia pun mengekori Devan.
Mereka sampai di depan sebuah warung kecil yang agak ramai. “Makan siang dulu, walaupun udah sore, sih,” ucap Devan. Davia mengangguk. Mereka memesan nasi goreng dan air putih.
Warung ini cukup tinggi, sehingga mereka dapat menikmati pemandangan pantai dari warung. Langit berwarna jingga, matahari berada di barat namun belum tenggelam.
“Dav,” Devan memulai pembicaraan.
Davia menoleh, “Iya, kak?”
Devan terlihat gugup. Ia membenarkan letak kacamatanya. “Ekhm, jadi gini,” Devan kembali berbicara. Devan memberi jeda sejenak kemudian melanjutkannya. “Davia, gue sadar gue suka sama lo, gue nyaman sama lo, gue cinta sama lo, gue sayang sama lo. Gue sangat berterima kasih atas semuanya. Kalo enggak ada lo, gue nggak tau apa yang bakal terjadi sekarang. Meskipun gitu, gue rasa semua perjanjian ada batas waktunya, jadi–”
“Perjanjiannya selesai?” potong Davia.
Devan meneguk ludah. “Iya.”
Davia menghela napas kasar. “Haha, iya, gue lupa,” Davia tertawa hambar. “Kak, lo nggak suka, cinta, sayang atau semacamnya sama gue. Itu cuma balas budi.”
Devan tersentak. “Dav, maafin gue,” ucap Devan.
Davia tersenyum kecut. “Lo nggak salah, Kak. Gue yang salah. Gue lupa sama perjanjian itu,” Davia menertawakan dirinya sendiri.
“Nggak, nggak gitu, Dav. Maksud gue–”
Tiba-tiba, muncul suara gemuruh dari arah pantai. Ada gulungan ombak yang sangat besar dari sana. Tsunami. Davia sangat terkejut, begitu pula Devan. Davia langsung berdiri. Namun, Devan menarik lengannya lalu memeluk Davia sangat erat.
“Gue minta maaf, Dav. Gue sayang banget sama lo,” Devan melepas pelukannya. Devan menarik Davia lalu berlari sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba, di pandangan Davia, semuanya gelap. Davia meraba-raba sekelilingnya. Kosong.
“Kak Devan?” Davia bertanya setengah berteriak. Tidak ada jawaban. Davia ketakutan. Davia menangis sejadi-jadinya. Davia terduduk. “Kak, maafin gue, gue juga sayang sama lo!”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Novela JuvenilDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...