Sepanjang perjalanan, Devan dan Davia tidak bicara sama sekali. Setelah cowok itu berlutut dan meminta maaf pada mamanya, momen mengharukan terjadi. Davia tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut menangis. Momen itu sangat indah, meski mereka harus menunggu cukup lama.
Motor Devan berhenti di depan pagar rumah adik kelasnya. Cewek di boncengannya itu turun dan memberikan helm padanya.
"Makasih udah nganterin gue pulang, Kak," kata cewek itu cepat.
Devan mengembalikan helm pada Davia, membuat mata sipit cewek itu membulat lebar. "Pegang aja. Bawa tiap hari."
"Maksudnya?"
"Mulai besok, gue bakal anter dan jemput lo ke sekolah," jawab cowok itu cepat, ia mengangkat tangannya, menyuruh Davia diam sebelum cewek itu mengeluarkan protes. "Gue nggak terima penolakan. Anggap aja ucapan terima kasih, lo bisa ngirit ongkos."
"Makasih buat apa?"
"Buat sesuatu yang nggak akan pernah bisa dihitung pakai uang," jawab cowok itu lagi, senyum tipis terukir di bibirnya. "Besok jadi nggak jam enam?"
"Jadi!" jawab Davia cepat. "Ya udah, sampai ketemu besok, Kak."
Devan menyalakan mesin motornya dan meninggalkan Davia di depan rumah. Cewek itu bergegas masuk ketika kakak kelasnya sudah tidak lagi terlihat di depannya. Ia berjalan masuk dengan hati yang berbunga-bunga. Tiap langkahnya terasa begitu ringan.
Ia menjatuhkan tas di tempat tidur, lalu berjalan ke cermin di dekat kamar mandinya. Dipandanginya terus seluruh pantulan dirinya di sana. Banyak hal telah berubah, tidak ada lagi kantung mata, tidak ada lagi wajah kusam atau lelah. Ia tampak lebih segar sekarang.
Pandangannya turun ke tubuh gempalnya. Meskipun belum terlihat perubahan di sana, tapi ia merasa lebih sehat sekarang. Setelah menjalani diet dan olahraga teratur selama dua minggu, jam tidurnya kembali normal dan tubuhnya terasa lebih ringan.
Benar yang dikatakan kakak kelasnya, semua ini tentang cara berpikir dan bagaimana ia berdamai dengan kondisinya. Kalau saja ... tidak! Davia langsung menggeleng kencang, ia harus berhenti berandai-andai dan menjalani apa yang ada dalam hidupnya sekarang.
Meskipun ia sudah merasakan banyak hal baik yang berubah pada dirinya, tapi semua usahanya itu masih membutuhkan kerja keras dan sikap konsisten. Ia baru sampai di beberapa langkah awal menuju kebahagiaan, bahkan belum setengahnya. Masih banyak yang harus ia lewati, dan itu sangat mungkin diraih dengan satu langkah pertama; dengan lebih mencintai dirinya sendiri.
Senyum lebar terukir di bibirnya. Davia yang baru mulai berkembang secara perlahan. Dari telur, dan kini ia menjalani fase menjadi seekor ulat. Ia akan menikmati prosesnya dengan baik, mengambil berbagai pelajaran yang berharga di balik semua itu.
"Hai Davia, selamat datang!"
◎ ◎ ◎
Seminggu lagi olimpiade akan dilaksanakan. Ini adalah akhir pekan terakhir kedua teman satu tim itu bisa bernapas lega. Lomba akan dimulai pada hari Jumat selama satu hari penuh. Bu Eka memutuskan untuk memberi waktu istirahat bagi keduanya, beliau berpesan agar selama lima hari ini, mereka tidak perlu belajar terlalu keras agar tidak mengalami stress.
Dan karena itulah, mereka memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dengan berlari santai di hari Minggu ini. Setelah satu jam berlari, keduanya memilih beristirahat sejenak dan duduk meluruskan kaki di bawah pohon yang teduh.
"Masih kuat?"
Davia mengangguk mantap. "Masih, dong. Lo kali nih, yang udah nyerah."
"Ya nggaklah, gue masih kuat. Cuma kasian aja sama lo yang udah kepayahan gitu," jawab cowok berkacamata itu cepat. Ia memberikan botol air minum pada Davia. "Minum dulu, nanti lanjut lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Fiksi RemajaDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...