"Hai, Daffydav. Selamat datang di roleplayer world. Kamu butuh apa? Ayo jadi temanku!"
Mata Davia berbinar menerima pesan itu. Belum lama ia bergabung, tapi seseorang sudah menawarinya pertemanan. Kenapa di dunia nyata tidak bisa seindah ini? Ia pun mengetik balasan dengan cepat.
"Aku noob, kamu mau temenan?"
Ting!
"Mau, dong! Eh, daf, kebetulan dormku butuh chara Sana. Mau join?"
Dahi Davia berkerut, ia menggigit bibir bawahnya, lalu mengetukkan jari di dagu. Sebagai pemula, ia tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan dorm, atau apa pun itu. Setelah menimbang sebentar, ia kembali berselancar di dunia maya untuk mencari tahu apa itu dorm.
"Oke! Ajarin aku, ya, kalau aku masih kaku."
Setelah mengetik balasan itu, ia kembali larut dalam perbincangan dengan teman baru miliknya. Jemari Davia terus menari di atas papan ketik, bibirnya tidak pernah berhenti melengkungkan senyum.
Dalam sekejap, dunia Davia yang gelap mulai menjadi terang. Bahkan, ia melesat dan menjadi seorang pemain yang sangat mahir. Ia pandai menirukan aegyo idol yang dipilihnya sebagai wajah ke dua. Ia juga benar-benar bersikap seperti idol itu.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Bahkan Davia tidak sadar jika sekarang langit sudah gelap, mama dan papanya yang memanggil pun seolah tidak terdengar. Hanya satu yang bisa menyadarkan Davia: batu baterai ponselnya yang habis.
Davia berlari menuruni tangga buru-buru, mengeluarkan seuntai kabel dan kembali berlari ke kamar.
"Davia!" panggil Mama sambil menuju ke arah tangga. "Dav, kamu ngapain lari-larian gitu? Mama panggilin juga nggak kamu jawab daritadi."
Tidak ada jawaban dari Davia, hanya suara cekikikannya yang terdengar cukup kencang. Merasa kesal, Mama berjalan menaiki tangga dan mengetuk keras pintu kamar Davia.
"Davia. Buka pintunya," perintah Mama.
Tidak ada jawaban.
"Davia!"
Masih tidak ada jawaban.
"Davia, buka pintunya sekarang atau Mama dobrak?"
Suara berisik terdengar dari balik pintu, lalu disambung dengan jawaban Davia. "I—iya, Ma. Bentar, Davia buka pintunya."
Setelah mendengar jawaban dari putri semata wayangnya itu, Mama merasa sedikit tenang. Dan tidak lama kemudian pintu pun terbuka, memperlihatkan wajah Davia yang cerah. Tidak seperti biasanya.
"Apa, Ma? Kenapa?" tanya Davia santai.
Mama memperhatikan wajah anaknya itu, lalu menggeleng. "Daritadi Mama sama Papa panggil kamu, kenapa nggak turun?"
Mata Davia terbuka lebar. "Ha? Davia nggak denger, Ma. Seriusan nggak denger."
"Kamu lagi dengerin lagu?" tanya Mama menyelidik, beliau pun mendorong tubuh anaknya dan masuk ke dalam kamar dengan cat dinding berwarna biru langit itu.
Davia menggeser tubuh, lalu berjalan ke arah kamar dan duduk di kursi belajarnya. Tidak jauh dari situ terdapat aliran listrik yang sedang mengisi baterai ponsel cewek itu.
"Enggak, Ma."
"Terus kenapa susah banget dipanggil? Nggak biasa-biasanya kamu nggak nyahut pas Mama panggil. Apa lagi ini jam makan malam," tanya Mama lagi penuh selidik. Matanya terus menjelajah isi kamar Davia.
"Nggak denger, Ma. Mungkin tadi Davia lagi terlalu seru."
"Seru ngapain?"
Jari Davia terkait satu sama lain mendengar pertanyaan mamanya yang menyelidik. Ia takut mengatakan yang sebenarnya. Dalam hati ia mengutuk kebodohannya yang tidak mendengar panggilan kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...