Davia menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Ia memejamkan matanya dan menghela napas lega. Tidak ada tempat yang lebih nyaman untuk beristirahat selain kamarnya sendiri.
Merasa sedikit gerah, Davia memaksa tubuh gempalnya berjalan ke kamar mandi dan membersihkan diri. Meskipun sekarang sudah pukul sembilan malam, Davia tetap harus mandi dan membersihkan dirinya setiap habis beraktivitas.
Tidak butuh waktu lama, Davia sudah kembali ke kamar dengan pakaian tidur yang nyaman dan handuk yang menggulung rambut ikalnya.
Ponselnya berdering tepat ketika cewek itu akan menarik selimut untuk membungkus tubuhnya. Davia cepat-cepat mengangkat telepon itu.
"Davia? Ini Tante Anna," sapa suara di seberang sana.
Davia menghela napas. "Oh iya, Tante. Selamat malam."
"Malam," jawabnya singkat, ada nada dingin dan kesan terburu-buru dari suara Tante Anna. "Dav, seperti yang saya bilang tadi, saya mau minta tolong kamu untuk jagain Devan dan selalu kasih tau saya kalau Devan kenapa-napa. Bisa, kan?"
"Bisa, Tante. Davia usahakan."
"Dan jangan kasih tau Devan soal ini, ya, Dav?"
Davia mengangguk. "Iya, Tante."
"Kalau gitu Tante tutup dulu teleponnya, ya. Makasih banyak, Dav. Selamat malam."
"Malam, Tante," jawab Davia sebelum panggilan diakhiri.
Davia melempar tubuhnya ke tempat tidur dan memejamkan mata. Ia seperti seorang mata-mata sekarang, dan parahnya lagi ia memata-matai seorang Devan.
Ponsel Davia kembali berbunyi. Ia pun meraba meja di sebelahnya dan mengangkat telepon tanpa melihat siapa peneleponnya.
"Lo tadi ke rumah sakit?"
Suara orang di seberang sana membuat Davia langsung membuka mata dan bangun dari tidurnya. Ia benar-benar terkejut mendengar suara itu.
"K—kak Devan?"
"Iya, gue Devan," jawab Devan. "Jawab pertanyaan gue. Lo tadi ke rumah sakit?"
Davia menggigit kukunya, panik. "I—iya, tapi karena lo nggak ada jadi gue pulang lagi—"
"Ketemu siapa di sana?" potong Devan.
Davia mengerutkan kening. Apa Devan tahu soal mamanya yang datang menemui papanya? Ia memukul kepalanya pelan, bingung akan menjawab apa.
"Ketemu siapa?" tuntut Devan lagi.
Davia menahan napas. "Nggak ketemu siapa-siapa. P—pas gue lihat di kamar bokap lo nggak ada lo, gue langsung balik, Kak."
Tidak ada jawaban dari Devan, hanya suara mendeham yang cukup panjang. "Lo serius, kan?"
"I—iya! Gue serius, beneran. Nggak pake bohong," jawab Davia cepat, sangat cepat.
"Gue curiga sebenernya sama sikap lo," kata Devan, "tapi gue bakal coba buat percaya sama lo."
Tubuh Davia melemas mendengar perkataan Devan. Ia tahu pasti kalau ia bukan pembohong yang ulung, dan Devan juga pasti menyadarinya.
"Besok latihan di rumah lo bisa, nggak?" tanya Devan lagi.
Lamunan Davia terputus. "Iya, bisa, Kak. Tapi ... bokap lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. Udah mendingan. Ya udah sana lo tidur," kata Devan memerintah, lagi.
Davia mengerucutkan bibirnya. Tingkah Devan memang selalu menyebalkan, dia suka memerintah. Dan sekarang Davia tahu dari mana sifat itu. Tante Anna pun melakukan hal yang sama. Ia selalu memerintah, tidak memberi keleluasaan bagi lawan bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...