◎ 19. Perlawanan Pertama ◎

37.6K 5K 1.6K
                                    

Devan mengangguk. "Nyokap gue udah nggak ada, jadi jangan pernah tanya lagi apa pun itu tentang nyokap gue."

Mendengar jawaban Devan, cewek bertumbuh gempal itu hanya mengangguk. Ia tidak berniat bertanya lebih lanjut. Apa lagi sudah sangat malam sekarang.

"Gue pulang dulu, besok gue kabarin kita belajar jam berapa dan di mana. Gue nggak tau bakal masuk apa ngga besok, jadi jangan sampe lo nggak cek handphone lo," kata Devan lagi.

"Siap, Kak."

"Oh satu lagi," Devan menghentikan langkah Davia yang akan memasuki pagar rumahnya. "Jangan biarin siapa pun ngeledek, atau ngehina lo. Jangan sampe mereka ngerjain lo dan ngerasa berhak berbuat apa aja sama lo. Lo harus care sama diri lo sendiri, seburuk apa pun diri lo menurut lo. Paham?"

Mulut Davia terbuka lebar, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari sana. Ia ingin menangis, tapi entah untuk apa. Perkataan Devan seperti meruntuhkan tembok tinggi yang selama ini ia buat.

"Nggak usah nangis," kata Devan, ia tertawa kecil. "Sampe ketemu besok. Makasih udah nemenin gue dan gue harap ini kali terakhirnya kita ngurusin hal di luar olimpiade."

Setelah mengatakan itu, Devan langsung menurunkan kaca helmnya dan menjalankan motor dengan cepat. Meninggalkan Davia yang masih terdiam di tempatnya. Cewek itu benar-benar tidak menyangka cowok yang dulu sangat menyebalkan itu nyatanya mampu memahami apa yang dirasakannya saat ini.

Davia mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Kali ini langkahnya lebih ringan, ia tidak menyangka, memiliki teman di dunia nyata bisa begitu menyenangkan, dan memiliki orang yang mengerti apa yang dirasakannya itu sangat membuat lega.

Benar apa yang Devan katakan, ia harusnya lebih bersyukur pada hidup dan apa yang didapatkannya. Ia tidak seharusnya menyalahkan siapa pun atas kekurangannya. Ia mempunyai orang tua yang mendukungnya, guru-guru yang terus membimbingnya, juga seorang teman yang mengerti dia. Suatu hari nanti, Davia yakin akan ada lebih banyak orang yang mampu menjadi temannya.

Mungkin, ini saatnya Davia berhenti dari permainan itu dan mencari kebahagiaannya secara nyata. Ini saatnya Davia lebih berani dan menyayangi dirinya sendiri. Devan dan perkataannya tadi telah meyakinkan Davia bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin.

Ia harus mencintai dirinya sendiri agar orang lain mencintainya. Ia harus menjaga dirinya agar tidak ada satu pun orang bisa menyakitinya. Bukan dengan berpura-pura kuat, tapi dengan benar-benar menjadi kuat.

Cewek itu memasuki kamar dengan hati yang lebih lega. Ia menaruh tas di meja, dan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Perlahan, ia mengeluarkan ponsel dari dalam kantung seragamnya.

Ia menggeser layar ponsel ke aplikasi hijau dengan logo bertulisan warna putih. Lalu ia mengetikkan sesuatu di sana, dan menutup ponselnya lagi.

Hai, di sini Babydaff. Mun-ku memutuskan untuk mengambil waktu istirahat dan hiatus dari permainan ini entah untuk berapa lama. Jangan lupa bahagia!

◎ ◎ ◎

Mama tidak habis pikir dengan sikap Davia pagi ini. Saat Mama terbangun pukul setengah enam pagi, Davia sudah berada di dapur lengkap dengan celemek bergambar Doraemon di tubuhnya.

"Pagi, Ma. Davia udah buatin Mama sama Papa pancake, tapi pake maple syrup aja nggak apa-apa, kan? Atau ada Orchid sih, di meja," sapa Davia yang masih sibuk memanggang beberapa pancake.

Papa yang baru masuk ke dalam ruang makan di sebelah dapur mengerutkan keningnya bingung. Beliau berjalan ke kursi ujung di meja makan.

"Pagi, Papa," sapa Davia. Ia berjalan menghampiri Papa, lalu menaruh piring berisi dua buah pancake di atasnya. "Papa mau pake maple syrup atau Orchid?"

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang