Sejak kemarin Devan tidak berhasil menghubungi Davia. Ia sudah meneleponnya berulang kali, mengirim pesan, tapi tidak ada jawaban. Kemarin pun ia menunggu Davia di perpustakaan hingga sore, tapi batang hidung cewek chubby yang menjadi rekan timnya itu tidak terlihat.
Hari ini sepulang sekolah ia segera berjalan menyusuri lorong. Ia akan menghampiri Davia di kelasnya. Olimpiade ini sangat penting untuknya, dan ia tidak ingin siapa pun menghalangi langkahnya.
Di perjalanan ia bertemu dengan sekumpulan cewek kelas 10 yang memandanginya kagum sambil menahan napas. Devan membuang wajah ke samping, lalu memijat pangkal hidungnya, kesal melihat kelakuan aneh cewek-cewek itu.
Dari kejauhan, pandangan Devan menemukan sosok chubby yang mengendap-endap, cewek itu tampak waspada, seolah menghindari sesuatu. Senyum sinis terukir di bibir tipis Devan, ia berjalan mengendap menghampiri cewek itu dengan tenang.
Ia menahan tawa dan kerutan di kening ketika melihat Davia menjatuhkan ponselnya. Ia mempercepat langkah, lalu menghampiri Davia.
◎ ◎ ◎
"Baby, i don't know how to explain this. But i feel so comfortable being around you. So, be mine?"
Dengan gemetar Davia membungkuk dan hendak mengambil ponsel yang jatuh tidak jauh di depannya. Deretan kata yang masuk ke ponselnya itu benar-benar membuat Davia kehilangan kontrol atas dirinya.
Belum sampai tangannya menjangkau ponsel yang terjatuh, sesuatu yang dingin menyentuh dahinya yang kemudian terasa sakit.
"Ah!" Davia mengaduh sambil menyentuh lalu mengusap dahinya. Kesal, ia mengambil ponselnya cepat dan berdiri untuk menghadapi siapa pun yang dengan berani sudah menyiksanya ini. "Lo berani banget, ya, bikin gue kesaki—"
"Apa?" potong pemilik tangan yang baru saja menyentil dahinya. "Kenapa? Nggak suka?"
Suara itu membuat Davia membeku seketika. Meskipun belum lama mengenal dan mendengarnya, tapi ia sudah tahu persis siapa yang membuatnya kesakitan tadi.
"K—kak Devan?" cicit Davia. Ia mengangkat wajahnya dan langsung berhadapan dengan iris mata Devan yang menatapnya tajam dari balik kacamata. "Kok lo bisa ada di sini, Kak?"
Devan menyandarkan tubuh pada dinding di belakangnya dan menatap Davia kesal. Alis tebal cowok itu terangkat sebelah, seolah menghakimi. "Menurut lo kenapa gue bisa ada di sini?"
"Nggak tahulah, kalau tahu ya gue nggak bakal nanya, Kak," jawab Davia kesal lagi, keterkejutannya sudah hilang berganti dengan rasa kesal karena sosok di hadapannya ini sudah merusak imajinasinya.
Devan mengeluarkan ponsel dari dalam kantungnya, lalu membuka daftar panggilan dan pesan di ponsel itu dan memberikannya pada Davia. "Gue ngehubungin lo dari kemarin dan nggak ada jawaban. Kemarin gue tunggu di perpustakaan sampe tu perpus tutup dan lo nggak muncul. Lo lupa atau pura-pura lupa kalau lo punya urusan sama gue?"
Bibir Davia mengerucut. Ia kesal karena kesalahannya dihakimi tepat di depan matanya. Namun, ia juga merasa bersalah karena ingkar dari jadwal yang sudah ditentukan.
"Kalau lo nggak profesional kayak gini, gue bisa bilang sama Bu Eka supaya lo diganti," lanjut Devan. Ia menarik kembali ponsel dan memasukkannya ke kantung seragam. "Mungkin lo nggak tahu ada puluhan murid lain yang berharap bisa ada di posisi lo sekarang."
Davia kembali menciut. Ia tahu ia sudah sangat salah, dan ia tidak ingin kehilangan posisinya saat ini. "Jangan, Kak. Gue minta maaf, gue nggak bakal kabur-kaburan lagi dari jadwal kelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Ficção AdolescenteDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...