"Lo bisa nggak jaga mulut dan kelakuan lo, Mel? Atau lo mau posisi ketua Jurnalistik pindah dari tangan lo?"
Davia mundur begitu mendengar suara tenang dan dalam dari seseorang yang melepaskan pegangan tangan Melisa darinya.
"Loh, D—Devan? Ngapain lo di sini?" tanya Melisa sambil mengusap tengkuk belakanganya, panik.
Devan menatap Melisa tajam. "Gue nggak suka ngeliat lo ngelakuin hal kasar ke adek kelas. Dan gue rasa pembimbing jurnalistik juga nggak akan suka kalo dia tau kelakuan lo kayak gini."
Muka Melisa memerah, ia akan membuka mulut membalas perkataan Devan. Namun, kilat tajam dari mata Devan seolah memberitahunya untuk menutup mulut. Ia melempar pandangannya ke arah Devan, lalu membuang wajah ke samping. Ia meninggalkan Davia dan Devan dengan langkah besar.
Davia memutar bola matanya, lalu meninggalkan Devan yang baru saja menoleh ke arahnya. Ia tidak peduli dengan Devan, ia tidak ingin bertemu dengannya untuk saat ini.
"Dav."
Langkahnya tidak berhenti, ia terus berjalan menjauh dari Devan. Dari ekor matanya, ia melihat Devan mengikutinya dari belakang. Seketika punggungnya memanas, ia yakin mereka berdua sedang menjadi pusat perhatian.
"Dav, gue mau ngomong," kata Devan memegang tangan Davia pelan, mencoba menghentikan langkahnya.
Davia berhenti, menghempas tangan Devan. "Apa?"
"Nggak di sini," jawab Devan. "Lo mau kita jadi tontonan orang?"
Pandangan Davia berkeliling, benar yang dikatakan mantan rekan timnya ini. Beberapa murid kelas sebelas tampak mencuri pandang ke arah mereka. Davia menghela napas, sebenarnya ia ingin mengikuti egonya saat ini. Namun, ia tahu ego tidak akan menyelesaikan masalah.
"Ya udah di mana?"
Tiba-tiba bel pulang sekolah berbunyi. Davia tersenyum di balik maskernya. "Udah masuk."
"Nanti aja pulang sekolah, di parkiran, gue tunggu," kata Devan cepat, lalu ia berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Davia memperhatikan Devan yang menjauh, kalimat cowok itu kemarin kembali terngiang di telinganya.
Tubuhnya bergetar, ia ingin pergi sejauh-jauhnya dari semua orang karena mereka hanya ingin menyakitinya. Tanpa terasa, air mata turun di pipi Davia.
◎ ◎ ◎
Kalau saja Davia mempunyai kekuatan super untuk menghilang secepatnya, ia sudah menggunakan kekuatan itu sejak bel pulang sekolah berbunyi. Nyatanya, ia hanya manusia biasa, dan menghilang secepat kilat adalah khayalan baginya.
Devan sudah mengiriminya pesan sejak lima menit lalu mengatakan ia akan menunggu di parkiran. Davia menghela napas, ketika ia mulai mencintai dirinya sendiri, selalu saja ada hal yang membuatnya sakit dan kecewa. Bahkan orang yang mengatakan banyak hal baik untuknya pun, menyakiti hatinya dengan kata-kata lagi.
Dengan malas Davia menyeret langkah menuju pintu kelas. Ia akan langsung pulang tanpa menemui Devan. Tadi pagi ia sempat berpikir untuk menemui Devan, tapi sepertinya ia belum siap.
Ketika tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu kelas, kaki Davia berhenti. Ia memandang kosong sosok di depannya yang berdiri menyandar pada pintu.
"Feeling gue bilang lo bakal pergi, makanya gue nunggu lo di sini," kata Devan pelan.
Davia terdiam, tidak menjawab.
"Lo lupa kita ada kelas hari ini? Sebelum minggu depan bareng sama Bu Eka."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)
Novela JuvenilDavia pernah begitu mencintai angka, sampai ia tiba-tiba terjebak di dalam dunia Roleplayer-dunia kedua yang mampu mengabulkan apa pun yang ia inginkan. Devan-kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade matematikanya-memaksa Davia untuk kembali pada k...