13-Distance

22 0 0
                                    

Seandainya jarak tiada berati

Akan ku arungi ruang dan waktu dalam sekejap saja

(Raisa)

"Yeh yang Long Distance" Hilda menggodaku, saat aku mengangkat Video Call dari Dimas.

Aku berada di rumah sakit, Hilda meminta ku mengantarnya ke Dokter kandungan untuk melihat hasil dari usahanya memiliki bayi tabung.

Suami Hilda tidak bisa menemaninya, karena kesibukannya.

Dimas dan aku tak bersuara saat Video Call. Kelakuan nakal Dimas seperti biasa mencari tahu keberadaanku, dengan siapa aku pergi.

Hilda barusan masuk keruangan Dokter, dan aku menunggunya di ruang tunggu.

Dimas selalu mengabari kesibukannya juga disana. Tak terasa sudah hampir 1 bulan. Begitu terasa lama. Dan apakah aku kuat menahan rindu 5 bulan lagi.

Ponsel ku mati, baterai ku memang sudah low batt. Aku segera memasukkan ponselku ke tas, dan ku lihat Suami dan anak Jihan sedang berada di rumah sakit ini juga.

Aku segera mengejar mereka.

"Hei Sha..Sendiri? "

"Enggak kok ama temen, nganterin dia konsultasi ke dokter kandungan"

Aku melihat ke arah anak Jihan dan mengelus rambutnya.

"Salim duluh ke Tante Sharena"

"Jihan mana? "

"Jihan semalam operasi Caesar, alhmdulillah operasi nya lancar, jagoan lagi" Terlihat wajah girang Suami Jihan.

"Alhamdulillah.. Salam buat Jihan ya" Ujarku.

Jihan dan aku sudah beberapa bulan ini tidak saling menyapa, semenjak kehadiran Dimas. Jihan bilang padaku kalau apa yang aku lakukan adalah kebodohan paling besar.

"Sha.. Usia elu tuh bukan usia abege lagi. Dimas bisa aja mainin elu doank, lu patah hati kaya yang sudah-sudah. Dan kalaupun Dimas serius sama elu, Dimas itu bukan Islam Sha.. Inget itu.. Dia itu lebih....... " Jihan tidak meneruskan kalimatnya.

"Gue kan da bilang, ini tuh intermezzo dalam hidup gue aja"

"Intermezzo... Nggak habis pikir gue sama elu. 32 lu Sha. Gue aja udah punya anak dua dan elu masih mikir intermezzo dalam hidup elu.. "

Ada sakit hati saat aku mendengar perkataan Jihan.

Pertengkaran ku dan Jihan pun berlanjut hingga permusuhan.

"Kamu jangan ambil hati omongan Jihan Sha.. Dia tuh selalu khawatir sama kamu. Kamu besok lihat Jihan ya. Kita pulang 3 hari lagi sampai keadaan Jihan dan dedek bayi membaik"

Aku menggangguk dan tersenyum. Aku tahu, Jihan sungguh mengkhawatirkanku, dan akupun juga begitu.

Aku rindu Jihan.


**

Sejak kemarin, Hilda meminta ku menemaninya. Hilda sedang tidak baik-baik saja, karena perasaannya bertambah kalut. Keinginannya memiliki bayi tabung sirna.

"Gue nggak ngerti ama pikiran laki gue Sha.. "

Hilda berulang kali mengulang-ulang kata tentang kekecewaannya terhadap suaminya yang tidak ingin berusaha untuk kembali konsultasi ke dokter.

"Qori kok sekarang susah banget kumpul sama kita ya Sha? " Tanya Jihan.

"Qori kan udah pindah dibandung"

"Serius? "

"Emang elu nggak tahu? " Tanyaku.

Hilda menggeleng..

"Gue juga tahunya pas gue ada acara M & G surat cinta. Dia bilang sih mau ngejauhin dari hal-hal yang bikin dia ketahuan ama istri pertama laki nya"

Hilda hanya menggelengkan kepala.

"Edan juga nih bocah"

Aku pun ikut menggeleng dan menarik nafas.

Ketika hidup adalah sebuah proses, maka kita sebisa mungkin harus mengikuti setiap step nya.

Dan saat ini, aku ada di step yang sudah seharusnya aku jalani, begitupun Hilda maupun Qori.

Kami tahu.. Apa yang harus kami jalani, walaupun mungkin orang lain menilai apa yang kami jalani ini salah, apa yang kami jalani ini Gila, apa yang kami jalani adalah kebodohan.

Aku... Bodoh menjalani cinta yang tak tahu akan berhenti di titik apa, dan yang pasti salah di mata orang lain, bahkan di mata Tuhan.

Qori.. Salah karena memilih berbahagia di atas penderitaan orang lain, dan mengabaikan hal buruk yang terjadi di kedepannya.

Hilda.. Memilih untuk mengikuti perannya sebagai seorang istri,seorang menantu. Yang mungkin bagi sebagian orang Hilda bodoh dengan mudah meninggalkan kebahagiaan nya saat dia belum menikah. Hilda yang bisa saja meninggalkan suami dan statusnya sebagai istri dan mulai hidup seperti duluh lagi, tanpa harus terus-terusan disalahkan oleh mertuanya dan orang-orang terdekat suaminya.

"Kamu jadi jenguk Jihan kan? "

Dimas menelpon ku saat aku baru sampai di rumah.

"iya Dim ntar sore sebelum aku ke kampus" Jawabku.

"Ya udah aku cuma nanya itu aja, sekalian ngingetin kamu. Gimanapun juga Jihan itu sahabat kamu sayang"

Aku menarik nafas sambil membuka sepatuku, dan berjalan menuju kamarku.

"Oke Dim.. Makasih yah udah ngingetin. Aku mau istirahat duluh"

"oke sayang.. i Love you"

"Love you too Dim.. "

Selalu percakapan kami di akhiri dengan kata "I love you".

Untuk sekedar mengingatkan aku masih mencintainya disini, begitupun dia.

Satu poin lagi untuk Dimas adalah Dia tidak hanya menjalankan perannya sebagai kekasihku, tapi bisa menjadi sahabat buatku.

Walau Dimas tahu, Jihan tidak menyukainya. Sedikitpun Dimas tak pernah menyuruhku menjauhi Jihan.

" Jihan itu sahabat kamu. Kamu tahu apa yang ada dalam hati Jihan. Dia pasti pengen kamu datang untuk melihat nya"

Percakapan semalam antara aku dan Dimas.


Dear Tuan Popeye (Surat Cinta Berkala)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang