Pukul 05.00 WIB.
Sinar mentari yang masih bersembunyi dengan kegelapan yang masih menyelimuti. Dalam keheningan pagi yang mendadak terdengar bising sebab alarm ponsel yang seakan mengingatkan jadwal rutinnya setiap hari sabtu.
"Ah.. Ada apalagi dengan ponsel ini." gumam Giselle yang begitu lupa dengan rutinitasnya.
Ia perlahan bangkit dan meregangkan tubuh yang terasa kaku karena posisi tidurnya yang bisa dibilang tak bergerak sedikitpun. Giselle mulai berjalan lunglai ke arah kamar mandi dan bersiap-siap untuk segera jogging.
Selang beberapa menit ia duduk di tangga terasnya seraya mengikat tali sepatu. Kali ini Giselle menggunakan setelan berwarna hitam dengan crop top sleeveless yang dilapisi dengan jaket terbuka agar perut tipisnya sedikit terlihat. Dipadukan dengan leging bercorak sederhana, sungguh membuatnya terlihat sylish dan cantik.
Giselle mulai berlari-lari kecil menyusuri jalan menuju sebuah taman yang tak jauh dari tempatnya tinggal. Sepagi ini pun ternyata sudah begitu banyak yang sudah beraktivitas di taman itu. Seperti bersepeda, berlari pagi, hingga anak-anak kecil yang bermain.
Giselle menghirup udara segar yang menyejukkan. Meskipun masih terasa dingin, namun hal itu justru membangkitkan semangatnya.
Setelah berjalan santai, ia pun kembali berlari mengelilingi jalan di sekitar taman. Tak lupa ia memasang sepasang earphone ke telinganya. Mendengar lagu ceria guna menambah semangatnya. Rambutnya yang panjang pun ikut mengayun-ayun seirama dengan langkahnya.
"Huh.. Aku lelah sekali. Kakiku terasa kram sekarang." keluh Giselle karena taman itu sangat luas, tak sadar ia mengelilinginya 5 kali berturut-turut hingga kini membuatnya harus memijit betis kakinya.
Satu setengah jam berlalu Giselle akhirnya menyadari keletihannya. Lalu ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah resto terbuka dekat taman itu dan memesan minuman dan makanan kesukaannya.
"Aku pesan 1 jus alpukat dan salad cheese."Namun ia terdiam sejenak dan teringat sesuatu. Ia pun mengecek dompetnya yang seolah seekor lalat baru saja keluar dari dalam sana.
Astaga aku lupa bahwa aku harus berhemat. Bagaimana ini.. Ah hitung-hitung aku harus mengetatkan dietku."Maaf aku..."
"Aku pesan 1 capuccino tea." suara serak yang tiba-tiba mengagetkannya.
Saat Giselle mencoba mengganti menu makannya agar mengurangi biaya yang akan dikeluarkannya, seorang pria berdasi tiba-tiba muncul di sampingnya hingga membuatnya terkejut.
"Hei, mengapa kau tidak mengantri??? Kau bisa membuatku jantungan. Dasar." cerca Giselle merutuki pria itu.
"Jadi berapa?" pria itu terlihat tak peduli pada gadis yang sedang mencacinya, ia pun malah tak sabar untuk segera membayar pesanannya. "1 Capuccino Tea seharga 23.000" sahut penghuni kasir.
"Astaga, kenapa kau malah melayani dia lebih dahulu? Aku bahkan belum memperbaiki pesananku." teriak Giselle yang tak menyadari para pelanggan lain sedang memperhatikannya dengan berbisik-bisik karena suaranya yang nyaring dan mengganggu selera makan mereka.
"Maaf, tapi aku......" pelayan kasir tersebut pun bingung harus menjawabnya.
"Baiklah, ini uangnya." pria di samping Giselle itu menyodorkan sejumlah uang 100 ribu kepada pelayan kasir.
Pelayan kasir pun mengambil uang itu dan segera mencarikan uang kembaliannya. Melihat itu pun membuat Giselle cukup sebal.
"Jadi kau mendahulukan dia karena siapa yang paling cepat memberikan uang? Aku tak menyangka kau tak seadil ini. Kau- ..."
"Bayar juga pesanannya." singkat pria dingin itu memotong pembicaraan Giselle yang sedang memaki pelayan kasir. Ucapnya pun juga sempat membuat Giselle tercengang, pasalnya ia sudah merutuki pria itu namun malah dibalas dengan kebaikan. Pelayan kasir yang terus kebingungan pun kini mengiyakan saja perintah pelanggan berdasi itu.
"Ap..apa yang kau lakukan?" Giselle memaku menatap pria yang di sampingnya.
Pria itu akhirnya menoleh padanya, "Aku ingin bicara denganmu."
"Hah? Denganku?"
*****
Mereka pun duduk di sebuah bangku berpayung yang tersedia di outdoor resto. Makanan yang mereka pesan juga sudah tersedia di meja sekitar 2 menit yang lalu. Terlihat begitu canggung diantara keduanya, namun pria itu mampu menyembunyikannya. Tapi tidak untuk Giselle. Duduk di hadapan pria berdasi itu membuatnya curiga dan sedikit takut. Bagaimana tidak, kini pria itu menatapnya dengan sorot mata yang menyeramkan. Terlebih lagi ia sama sekali tak mengenalinya.
"Jadi sebenarnya untuk apa kau ingin bicara denganku? Kau siapa?" akhirnya Giselle memberanikan diri untuk memulai obrolan.
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan." pria itu menyodorkan sebuah card persegi panjang ke hadapan Giselle.
Giselle pun mengerutkan dahinya dan mengambil card itu untuk memeriksa.
"Apa ini?"
"Kau bisa membaca?" sahut dingin pria itu yang semakin membuat suhu yang mulai panas ini kembali turun.
Giselle tak habis pikir mengapa pria itu bersikap sedingin es di pagi yang cerah ini.Lalu ia pun terkejut saat menyadari bahwa card itu adalah kartu nama perusahaan pria berdasi itu. Di baliknya pun ia temukan biodata singkat pria itu yang kini ternyata menjabat sebagai CEO perusahaan itu.
Sontak Giselle menutup mulutnya yang menganga lebar karena terkejut.
"Kau.. K..kau.. Kau seorang CEO?? Wow.. Bagaimana ini mungkin?"
Pria itu sedikit membuang muka, entah apa yang berada dipikirannya. Sedangkan Giselle masih duduk membeku. Tiba-tiba saja ia mendorong kursinya mundur dan berdiri, seketika membuat pria itu kembali menatapnya."Maafkan aku. Tolong maafkan aku. Aku bersikap kurang ajar tadi."
Pria itu menyadari orang-orang sekitar tengah memperhatikan mereka, "Hei, apa yang kau lakukan?" ia juga menutup wajahnya sebelah karena merasa malu.
"Ah, maafkan aku. Aku terlalu terkejut. Maafkan aku." Giselle kembali duduk.
"Tapi, kau memberikan kartu nama perusahaan ini padaku. Apakah ini tandanya kau.. Kau menawarkan pekerjaan padaku? Sungguh? Tapi, bahkan kita tak pernah saling bertemu, bukan? Lalu darimana kau bisa tau aku butuh pekerjaan? Kau siapa? Tapi apa kau tau sebenarnya ijasahku..."
"Aku sungguh tak memiliki banyak waktu. Sebaiknya pertimbangkan itu sebelum kau datang untuk interview dan menyerahkan seluruh berkas besok." tukasnya sebelum berdiri dan berlalu begitu saja tanpa basa-basi. Bahkan ia tak menyentuh Capuccino Tea hangatnya sedikitpun.
"Astaga, mengapa dia sedingin itu. Aku takut sekali, padahal untuk pertamakali bertemu dengannya."
"Tapi, apa yang barusaja ku dengar? Besok? Besok aku harus menyerahkan berkas. Tentu saja, aku tak mungkin menolaknya dan menyia-nyiakan kesempatan yang takkan mungkin datang dua kali. Ah ini seperti mimpi. Aku tak menyangka." lanjutnya.
Giselle menggenggam card itu dengan erat. Ia berharap penuh pada kesempatan emas ini. Meski rasa penasaran juga tak mau kalah. Tentang bagaimana kronologi pria itu mampu mengetahui saat ia berada dalam situasi sulit. Tapi mungkin saja ini sebuah kebetulan.
Mungkinkah kebetulan mampu memulai segalanya?
✴✴✴✴✴✴✴✴
🚨ATTENTION: Follow me for more notifications‼
💡Vote and Comment❗
°
°
💠Happy Reading💠
KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Secretary
Fanfiction[[MYG•PJH]] "Aku akan menemukanmu lagi, seperti takdir." -Arvan Banyak hal misteri dalam kehidupan seorang gadis bernama Giselle yang kini menjadi sekretaris pribadi Arvan. Kemunculan Arvan yang tiba-tiba membuat Giselle penasaran. Bukan hanya itu...