"Permisi, maaf mengganggu sebentar."
Sesampainya di lantai 5 Giselle tak menjumpai seorang pun, kecuali seorang wanita muda yang sedang mengepel lantai di depan sebuah ruangan.
Wanita itupun menoleh padanya setelah mendengar sapaannya, "Iya?".
"Sebenarnya aku ingin bertanya, apa kau bisa menunjukkan kepadaku dimana ruangan CEO?"
"Ah, tentu saja." lalu beberapa detik kemudian wanita itu memandang Giselle dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.
Tidak mungkin pak Arvan akan merekrut orang lagi. Bukannya kemarin sudah ada pembatasan kuota.-pikir wanita itu seraya berjalan mendekati sebuah ruangan. Giselle pun hanya mengikuti langkahnya saja.
"Ini ruangannya. Tapi, apa sebelumnya kau sudah memiliki janji?" rasa penasaran wanita itupun akhirnya terlontarkan begitu saja melalui mulutnya.
"Hm, sebenarnya aku hanya memenuhi panggilan saja." jawab Giselle rendah diri.
"Memenuhi panggilan? Itu artinya kau akan direkrut bukan?"
Dasar kepo sekali.-batin Giselle mengumpat, karena wanita itu memperlambat waktunya.
"Ya mungkin saja, jika Pak Arvan tidak berubah pikiran. Baiklah, terimakasih sudah memberitahuku ruangannya." Giselle pun segera masuk dengan mendorong pintu kaca yang terdapat tulisan 'CEO Room', setelah sempat mengetuk pintu.
"Wah percaya diri sekali dia menyebut nama Pak Arvan. Kalau sampai pemilik nama itu mendengarnya, baru tau rasa." gumam wanita itu seraya melanjutkan aktivitasnya yang sempat terganggu.
Giselle masuk ke dalam ruangan ber-AC yang suhunya sungguh dibawah 13°C. Kemudian ia sempat tercengang memandang ruangan luas serta mewah dimana keseluruhan perabotnya berwarna gelap.
Sebenarnya ini ruangan CEO atau semacam Goa? Gelap sekali. Gumam hatinya.
Langkahnya berdentum pelan memantul dari lantai berkeramik warna cream. Mungkin hanya lantai itu yang mampu menerangi jalannya yang gelap akibat lampu yang juga remang-remang. Tak salah jika ruang ini pantas disebut goa. Namun saat Giselle mendekati sebuah meja, terdapat penerangan dari lampu redup yang terpasang di samping meja kerja sang CEO.
Ia juga mendapati sosok penghuni ruangan itu yang duduk membelakanginya."Hm.. Permisi." suara Giselle seakan memecah keheningan yang tak tau dimulai sejak kapan.
Saat Giselle menarik kursi yang memang disediakan untuk tamu, "Siapa yang menyuruhmu duduk?" suara serak itu terdengar tegas dan penuh peringatan.
"Apa? M-maaf.." sedikit tersentak, Giselle kembali berdiri tegap dan mengembalikan posisi kursi seperti semula. Kursi empuk itu kembali menganggur dengan adanya peringatan dari pemilik ruangan.
"Letakkan seluruh berkasmu di meja." terdengar satu kalimat perintah yang tak bernada. Ya, datar dan dingin. Giselle pun mulai bertanya-tanya, bagaimana dia tahu jika aku yang datang? Kita baru pertama kali bertemu di resto dan sejauh itukah dia menghafal suaraku?. Begitulah kira-kira yang disuarakan oleh hati Giselle saat tangannya sibuk menggeledah isi tasnya.
"Ini, Pak." ucap Giselle memberitahu agar sang CEO menghadap padanya untuk segera memeriksa seluruh berkas. Dan benar saja, CEO pun memutarkan kursinya untuk berbalik menghadap berkas. Di dalam ruangan yang begitu dingin, sang CEO terlihat tak kalah dingin meski dengan kemeja putih bersih yang bersinar di bawah penerangan lampu, serta kacamata bulat yang memantulkan silau. Dasi biru bergaris putih terpasang pula dikerahnya.
"Duduklah." perintahnya membuyarkan lamunan Giselle. Sang CEO itu membuka berkas dengan cepat dan seakan terburu-buru.
"Keluarlah, lakukan pekerjaanmu."
Astaga aku baru saja duduk di kursi empuk ini. Keluh Giselle dalam pikirnya.
"Tapi aku masih belum tahu apa posisiku dalam perusahaan ini, Pak." selanya.
"Kau mengurus administrasi bersama pekerja lain di lantai 3." jelas Arvan seraya menurunkan kacamata.
"Baik, Pak." Giselle hanya menurut saja dan mulai meninggalkan goa es itu. Begitulah yang pantas disebut, mendiskripsikan ruangan yang gelap dan dingin.
"Huh, aku tak percaya akan semudah ini." bukannya senang, Giselle malah tampak cemas dan khawatir. Menumbuhkan rasa curiga yang tertanam di benaknya. Bahkan seingatnya, Pak Arvan tadi tidak membuka seluruh berkas dengan baik. Menolak lupa, Giselle hanya memiliki ijasah Sekolah Menengah Atas. Namun anehnya, ijasah itu pun juga tak dipertanyakan oleh sang CEO. Jelas membuat khawatir Giselle saat ini.
Ia pun sempat melamun saat menunggu lift. Ketika pintu lift mulai terbuka, ia langsung terburu-buru masuk ke dalam dan.. BRUKK..
"Astaga, kau punya mata tidak?" cerca seorang wanita yang seolah terdengar tak asing di telinganya. Wanita itu berjongkok untuk mengambil kertas-kertas yang berhamburan di lantai. Giselle pun tak jadi menaiki lift, karena ia spontan ikut berjongkok dan membantunya, "Maaf, aku tidak melihatmu tadi".
"Kau tidak melihatku, atau kau yang tidak punya mata? Kau ini membuat pekerjaanku berantakan saja. Lain kali kau--"
"Kau?????" betapa terkejutnya wanita itu saat mencoba memandang Giselle.
"Lenna???" Giselle pun juga tak kalah terkejut. "Kenapa kau ada disini?" lanjutnya.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kenapa kau ada disini? Kau mencariku? Bagaimana kau tahu kalau aku bekerja disini? Kau jauh-jauh kesini hanya untuk bertemu denganku? Sudah pernah ku bilang kan, jangan temui aku. Bagaimana kau bisa masuk, kau kan tidak punya alat pengenal pegawai disini? Kau--"
"Sssstttt..!" desis Giselle dengan jari telunjuk yang menyentuh bibir Lenna
"Hentikan omong kosongmu itu! Aku kesini karena direkrut oleh perusahaan ini, bukan karena ingin bertemu denganmu! Cih, ternyata perusahaan ini tempatmu bekerja juga? Aku tak mengira kau akan merahasiakan tempat kerjamu selama bertahun-tahun." Giselle terdengar kesal.
Lenna pun tak mengira juga ia akan terkena keadaan sulit seperti ini. "Maksudmu apa kau direkrut di perusahaan ini?" Lenna mencoba tak menghiraukan kalimat terakhir yang dilontarkan Giselle dan memilih membahas kalimat awal.
"Jangan sok bodoh. Kau ini, bilang saja kalau jika pekerjaan ini mustahil untukku. Tapi memang inilah kenyataannya." sahut Giselle.
"Apa? Dasar sombong sekali. Kau ini hanya beruntung. Seharusnya kau banyak bersyukur dan mentraktirku makan siang hari ini." Lenna kembali melanjutkan merapikan setumpuk kertas bercetak tinta hitam. Giselle pun membantu Lenna berdiri dengan mengulurkan tangannya.
"Memang kau percaya bahwa aku benar-benar bekerja disini?"
"Tentu saja... Tidak." jawab Lenna seraya menjitak kepala Giselle.
"Hei! Sakit! Kenapa kau ini?!"
"Sadarlah dan kembalilah pulang. Aku akan membelikanmu makanan anjing nanti."
"Apa? Aku kan tidak punya anjing."
"Siapa bilang aku membelikannya untuk anjing? Itu untuk dirimu. Supaya kau kembali ke akal sehatmu, Giselle. Cepat pulanglah. Atau aku akan marah."
"Marah saja. Aku tidak peduli. Karena aku sudah akan mulai bekerja disini hari ini. Bye." Giselle melangkah menaiki lift yang barusaja terbuka seraya melambaikan tangan ke arah Lenna yang masih menganga tak percaya.
✴✴✴✴✴✴✴✴
🚨ATTENTION: Follow me for more notifications‼
💡Vote and Comment❗
°
°
💠Happy Reading💠
KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Secretary
Fanfiction[[MYG•PJH]] "Aku akan menemukanmu lagi, seperti takdir." -Arvan Banyak hal misteri dalam kehidupan seorang gadis bernama Giselle yang kini menjadi sekretaris pribadi Arvan. Kemunculan Arvan yang tiba-tiba membuat Giselle penasaran. Bukan hanya itu...