Giselle dan Lenna pun akhirnya kembali ke kantor, setelah beberapa menit bercakap-cakap dalam cafe. Mereka pun tak bersuara hingga memasuki lift bersamaan dan mulai berpencar untuk melakukan tugas masing-masing. Giselle merutuki dirinya sendiri karena teringat perlawanannya pada sang CEO beberapa jam yang lalu, tepatnya sebelum saat presentasi dimulai.
Apa mungkin Pak Arvan marah padaku bukan karena kesalahanku saat presentasi? Mungkin saja dia marah padaku karena aku bicara dengan nada tinggi di hadapannya saat sebelum presentasi itu. Ini membuatku gila.
Giselle tak ada hentinya memikirkan kesalahan yang bahkan ia tak tahu mana yang harus diperbaiki. Hingga saat malam tiba, Giselle tak mendapat jatah lembur. Jadi ia harus pulang tepat waktu.
"Hari ini kenapa menjadi hari yang sangat panjang? Arrghh.." frustasi Giselle seraya memijat tengkuk lehernya. Langkah kakinya mulai menjauhi wilayah perusahaan yang disambut hembusan angin yang cukup membuatnya menggigil.
"Apalagi harus berjalan sejauh berpuluh-puluh meter hanya untuk menanti bus." eluh Giselle tiada henti. Tiba-tiba ponsel dalam tasnya berdering. Ia pun segera mengambil ponselnya dan melihat nama Lena pada layar.
"Ada apa?"
"Hari ini aku lembur, jadi aku tidak akan pulang." suara Lena.
"Ya. Lagipula aku tak menunggumu, jadi jangan khawatir." sahut ringan Giselle dengan melanjutkan langkahnya menuju halte.
"Maksudku, aku tak pulang bersamamu."
"Lalu?"
"Sebenarnya maksudku, aku tidak pulang ke apartemenku."
"Apa?! Kau punya apartemen? Dimana?" kaget Giselle pasalnya ia sungguh tak tahu sama sekali jika Lena telah menyewa apartemen selama ini.
"Jangan berteriak. Apartemenku berada di sekitar Jalan Anggrek dekat perusahaan."
Giselle otomatis menoleh ke seberang jalan untuk memastikan. Benar saja, ia memang berada tepat di wilayah Jalan Anggrek. Ia memandang bangunan bak hotel yang menjulang tinggi.
"Kau sudah menemukannya?"
"Tapi yang ku lihat hanya hotel." ucap Giselle bingung.
"Sudahlah, kau masuk saja. Aku akan mengirimkanmu nomor apartemen dan passcode lewat pesan."
"Sepertinya kau bisa di percaya. Baiklah aku akan masuk, awas saja kau menipuku."
"Sejauh ini aku tak pernah menipumu soal hal serius."
"Hal serius apanya? Kau bahkan tak pernah memberitahuku kalau kau punya sebuah apart--" tak lama Lena mematikan sambungan telepon yang jelas-jelas Giselle belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Dasar. Kalau saja dia tak membiarkanku tinggal di apartemennya, aku pasti sudah kembali ke kantor dan menjambak rambutnya." ujar Giselle yang begitu sebal.
Akhirnya ia memutuskan untuk menyeberang jalan. Namun ia mendengar sesuatu saat sudah berada tepat di depan pagar deretan apartemen. Giselle celingukan mencari sumber suara. Ternyata ada sebuah cahaya yang berasal dari semak-semak belukar di tepi jalan. Ia mendekat dan mengambil sesuatu yang bersuara itu.
"Ponsel?"
Lagi-lagi Giselle menemukan sebuah handphone bermerek sangat mahal, namun ponsel itu kemungkinan besar terjatuh saat seseorang melewati sekitar jalan itu.
"Aku tak mengerti mengapa hari ini aku selalu menemukan sebuah ponsel. Apa yang harus kulakukan?" Giselle mengecek apakah ponsel tersebut terdapat tanda-tanda kepemilikan seseorang. Alhasil nihil, Giselle tak menemukan tanda-tanda selain retakan dari layar ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Secretary
Fanfiction[[MYG•PJH]] "Aku akan menemukanmu lagi, seperti takdir." -Arvan Banyak hal misteri dalam kehidupan seorang gadis bernama Giselle yang kini menjadi sekretaris pribadi Arvan. Kemunculan Arvan yang tiba-tiba membuat Giselle penasaran. Bukan hanya itu...