💠Matter?💠

168 28 5
                                    

"Pak, Pak Arvan?! Kau mau kemana?" Giselle kesulitan berlari untuk mengejar Arvan yang sepertinya sudah berada di lantai utama rumah keluarganya. Kakinya begitu sakit bila untuk mengejar sang CEO yang sepertinya tak peduli padanya.

Sesampainya di lantai utama, Giselle menemukan sosok Arvan yang akan masuk mobil. Giselle begitu lega karena untungnya Arvan tidak akan pergi kemana pun. Arvan menunggunya dari dalam mobil. Meski kasihan melihat Giselle yang mengejarnya dengan susah payah, namun Arvan bersikeras untuk terlihat tak peduli.

Tiba-tiba ia mendengar suara seseorang terjatuh, "Aduh..". Sontak Arvan membuka pintu mobil dan menghampirinya di halaman rumah keluarganya dan menemukan Giselle sedang posisi duduk di teras.

"Ahkk.. Kakiku." Giselle memijat pergelangan kakinya yang terkilir.

"Kau kenapa?" ucap Arvan dengan wajah yang jauh dari kata panik. Dia benar-benar berusaha keras untuk tak bersimpati pada Giselle bahkan di keadaan ini pun.

Giselle sempat terkejut karena tiba-tiba Arvan berada di hadapannya, setelah ia melihatnya masuk ke dalam mobil.

Mungkin Pak Arvan hanya ingin melihat keadaanku. Giselle berusaha mengontrol dengan baik pemikirannya. Karena ia sempat berfikir bahwa bosnya itu akan peduli padanya, tapi ternyata setelah melihat wajah CEOnya itu sungguh membuatnya kesal.

"Kakiku, sepertinya terkilir." jelas Giselle seraya mendongak memandang Arvan.

"Jangan manja, cepatlah berdiri." perintah Arvan yang membuat Giselle menggertakkan giginya.

"Kau kira aku sedang bercanda? Aku terjatuh dan tidak sanggup berdiri. Kakiku benar-benar sakit." tukas Giselle yang mengalihkan pandangannya dari Arvan.

Arvan sedikit tersentak ketika Giselle sedikit meninggikan nada bicaranya. Terdengar sangat kesal padanya. Memang, tapi Arvan tidak mempermasalahkan bahwa Giselle kesal padanya. Sudah sewajarnya Giselle bersikap seperti itu karena bosnya yang tidak dapat memahami kondisinya.

Tiba-tiba Arvan berjongkok di hadapan Giselle. "Lepas high heelsmu."

"Apa?!" Giselle sedikit terkejut. "Untuk apa?" lanjutnya.

"Lihat ini, hakmu terlalu tinggi. Kau tidak bisa berjalan dengan benar jika memakai high heels setinggi ini." jelas Arvan seraya menunjuk high heels yang dipakai Giselle.
Giselle pun menurut dan melepas high heelsnya. Lalu ia mencoba untuk berdiri namun nihil, ia kembali ambruk.

"Kakiku sakit sekali." eluh Giselle. "Oh iya, maaf aku lupa untuk mengingatkanmu, bahwa kau akan ada jadwal penelitian data klien. Sebaiknya kau pulanglah dahulu, aku akan menghubungi supirmu." Giselle mengkhawatirkan jadwal Arvan dan segera mengambil ponsel dari dalam tas yang tergeletak di sisinya.

Arvan mengerutkan dahinya karena Giselle malah tak mengurus dirinya sendiri untuk saat ini.

"Lalu kau?"

"Aku akan naik taksi saja."

"Bilang saja kau ingin diantar supir keluargaku. Mereka juga tampan." Arvan terlihat membuang muka.

"Apa?! Mengapa kau berfikir seperti itu?" Giselle sontak berteriak di hadapan Arvan karena tidak terima bila Arvan mengatakan hal omong kosong.

"Kenapa? Mereka memang tampan." tukas Arvan seraya memberikan ekspresi seolah menantang Giselle.

Giselle kembali menggertakkan giginya. "Baiklah, terserah padamu Pak Arvan. Tapi aku tidak akan berlama-lama disini." Giselle memaksa untuk berdiri.

"Kau mau kemana?"

Just a SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang