"Ku dengar kau sudah tak lagi berkuliah di Universitas Dharma. Apa itu benar?" pria itu sibuk mencari topik lain seraya menyelinginya dengan mengiris daging membentuknya menjadi kotak-kotak kecil.
Giselle sedikit terkejut ketika pria di hadapannya menanyakan hal memalukan itu. Mungkin tak masalah jika semua orang tahu bahwa dia telah di DO, asalkan jangan sampai pria itu tahu. Tapi justru kenyataan malah berjalan sebaliknya.
"Darimana kau tahu?" Giselle menanti jawaban pria itu.
"Bukankah kita memiliki banyak teman yang sama saat duduk di bangku sekolah menengah pertama?"
Astaga, lagi-lagi pria itu membuat dentuman keras pada nadi Giselle karena kalimatnya yang selalu membuatnya terpaku. "Aku tak sengaja mendengar dari mereka. Mereka masih berteman denganku hingga saat ini." lanjut pria itu memasang smirk yang tersembunyi.
Giselle terlihat memainkan bola matanya ke arah yang tak tentu, menandakan ia sedang sibuk mencari alasan. "Ya, kurasa aku lebih mementingkan pekerjaan. Jadi aku tak melanjutkan kuliahku."
"Oh, begitu. Seharusnya jika kau memerlukan pekerjaan, kau bisa menghubungiku." pria itu seraya menyerahkan sebuah kartu nama perusahaan di hadapan Giselle. Membuatnya kembali mengingat akan seorang CEO yang juga pernah melakukan hal yang sama.
"Tapi aku sudah memiliki pekerjaan." sela Giselle.
"Memangnya kenapa? Kau bisa memilih dua pekerjaan sekaligus. Dan aku yakin kau pandai mengatur waktu." sahut pria itu yang terdengar begitu ringan. Padahal ia tak tahu betapa Giselle takkan mampu melakukannya seperti apa yang dikatakan oleh pria itu.
"Tapi aku-"
"Kau tak menyentuh makananmu sedari tadi." pria itu tiba-tiba meletakkan seporsi daging pasta yang telah dicincangnya. Giselle tak tahu harus berkata apa lagi karena perlakuan pria itu.
"Jika kau bekerja denganku, kau bisa mendapatkan posisi sesukamu. Sebenarnya aku tak memaksa, hanya saja.. Aku ingin membantumu. Jika kau menolak, itu tidak masalah." pria itu menuangkan minuman bersoda pada gelas Giselle.
Giselle termenung sejenak, mencoba memahami apa maksud pria itu yang sebenarnya. Menyediakan ruang makan malam, mencincang daging untuknya, menuangkan minuman dan menawarkan pekerjaan bagus. Sebenarnya untuk apa ia melakukan semua ini? Padahal bertahun-tahun mereka tak pernah bertemu, apa kini sifatnya telah berubah total semenjak ia menjadi orang yang sukses? Mungkin bukan sifatnya, tapi perlakuannya pada Giselle yang tak sama seperti sedia kala.
"Jika hanya untuk membalas kebaikanku karena telah mengembalikan ponselmu, sungguh jangan lakukan semua ini. Aku sudah lega meski hanya dapat mengembalikan barang yang sudah kutemukan pada pemiliknya." jelas Giselle penuh ketegasan.
Pria itu tersenyum simpul, "Aku tau kau tak pernah berubah."
"Mungkin kau merasa ini sangat berlebihan. Tapi menurutku, ini tak sebanding dengan kebaikanmu. Jadi jika aku terlalu terlewat batas, maafkan aku." pria itu sedikit menunduk.
Giselle mendadak tak enak hati karena merasa menyakiti perasaan pria itu. "Tidak, tidak. Sungguh, aku yang harusnya meminta maaf karena tak tahu caranya berterimakasih." ia menggeleng cepat dan menjelaskan.
"Kalau begitu, bisakah kau membantuku lagi?" pria itu akhirnya mendongak kembali.
"Membantu apa?"
"Bantu aku menghabiskan semua makanan ini. Kau tahu membuang makanan bukan hal yang baik."
"Baiklah, aku akan membantumu." sahut Giselle yang tak tahu lagi harus bagaimana menyikapi perlakuan pria itu. Jadi ia hanya pasrah dan menuruti permintaan pria dihadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Secretary
Fanfic[[MYG•PJH]] "Aku akan menemukanmu lagi, seperti takdir." -Arvan Banyak hal misteri dalam kehidupan seorang gadis bernama Giselle yang kini menjadi sekretaris pribadi Arvan. Kemunculan Arvan yang tiba-tiba membuat Giselle penasaran. Bukan hanya itu...