Partikel 27

38.5K 6.6K 542
                                    

Dua hari setelah kejadian malam itu, aku masih bertukar pesan dengan Rafa. Namun, tidak dengan Dheo. Dheo menghilang, atau lebih tepatnya tidak ada komunikasi di antara kami. Tidak salah sebenarnya, karena memang kami hanya bertukar pesan setiap ada kepentingan saja.

Mungkin dia sibuk. Aku tidak masalah untuk itu. Akan tetapi, janjinya untuk mengajakku ke pameran seni lukis belum dia tepati. Sementara sisa kencan—atau yang Dheo bilang, jalan bareng untuk mengenal satu sama lain—tersisa dua hari lagi.

Ketika rasa penasaran tidak terelakkan lagi, ibu jariku bergerak lincah di atas touch screen ponsel. Mengintip balon chat Dheo. Statusnya sedang online. Naluriku sebagai perempuan, ada gengsi jika harus memulai. Lagian untuk apa aku mengiriminya pesan? Tapi jujur, ada rasa bersalah ketika aku meneriakinya untuk pulang malam itu. Entah, bawaannya emosi terus.

Rafa : Sibuk?

Bibirku melengkungkan senyum secara otomatis ketika membaca pesan singkat dari Rafa.

Me : Nggak. Kenapa?

Rafa : Udah ada jadwal lunch bareng pacar?

Me : Nggak juga.

Rafa : Mau lihat dapur katering saya nggak?

Me : Kompensasinya dapat makanan gratis ya?

Rafa : Oke. Posisi di mana, Ya?

Me : Kantor.

Rafa : Saya jemput ya.

Me : Siap.

Well, daripada otak penuh dengan Dheo yang tidak jelas, menerima ajakan Rafa sepertinya akan menjadi solusi yang baik.

Aku berdiri untuk bersiap pergi. Merapikan pakaian, rambut, serta make up. Lalu mendadak terdiam ketika terlintas kejadian konyol masa kuliah dulu. Sudah empat tahun aku lulus kuliah, herannya baru tahun ini aku bertemu kembali dengan Rafa, meskipun kami tinggal di kota yang sama. Bisakah aku menyebutnya ini permainan takdir? Entah, hanya berusaha optimistis saja dengan pertemuan kali ini.

"Yaya, My Honey Sweety, You mau kemandose? Babang Tamvanisasi legeus di interview tuh."

Seolah omongan Devina adalah magnet, aku langsung menoleh ke arah televisi yang menempel pada dinding ruang resepsionis. Benar, wajah serius Dheo menghiasi layar televisi. Ia sedang melakukan wawancara dengan awak media yang mengerumuni.

Aku mengamati. Pertanyaan yang dilontarkan wartawan, ia jawab dengan sangat cakap dan gestur santai.

"Terpesona, hmm?"

Aku terkesiap saat Lina mencolek pipi.

"Nggak!" sangkalku.

"Nggak salah lagi," sahut Lina seraya mengedipkan mata.

Aku mendengkus keras, hendak menanggapi namun ada pesan baru dari Rafa. Ia mengatakan sudah sampai di depan kantor. Bergerak cepat menuju pintu utama untuk menghindari ledekan lanjutan dari dua orang yang sering kali beradu argumen itu.

*****

Sebagai seorang pebisnis muda, Rafa termasuk orang yang sukses. Bisnis katering yang ia jalankan selalu ramai konsumen, cabang sudah mulai menjamur di berbagai kota. Kafenya juga tidak pernah sepi pelanggan. Selain itu, Rafa memiliki atittude yang baik. Ketika di kafe, ia selalu mengumbar senyum ramah pada setiap pengunjung. Pantas, jika jalannya untuk sukses itu dipermudah, selain karena kerja kerasnya juga.

"Kok bisa sih, Raf, kepikiran buat usaha katering? Selain karena kamu doyan makan, apa gitu yang bikin kamu akhirnya tertarik sama bisnis kuliner?" tanyaku saat kami menikmati makan siang.

Partikel Jodoh (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang