Partikel 32

41.6K 7.4K 901
                                    

Orang lain sering kali mendoktrin cinta itu menyenangkan. Satu keindahan yang Tuhan kasih di muka bumi itu cinta, cinta, dan cinta. Tapi terkadang kita lupa, makna dari cinta itu sendiri. Mereka yang menyanjung cinta, belum tentu paham maknanya. Mereka yang mengagungkan cinta, belum tentu paham arti sesungguhnya.

Buatku cinta itu unik, bisa hadir dengan cara yang sulit diprediksi. Dia licin, sampai benak pun tak mampu menangkap keberadaannya. Ia hadir, namun sering kali hati menolaknya. Padahal sederhana saja, katakan cinta jika memang kamu mencintainya. Dan katakan tidak jika memang kamu tidak mencintainya. Jangan hanya berdiam diri di atas kemunafikan.

Banyak orang yang sering kali bilang; bahwa kita tidak akan tahu akan jatuh cinta pada siapa.

Itu klise, tapi sebagian orang menyampaikan jika kalimat klasik itu benar adanya.

"Yaya?"

"Iya, Yo?"

Satu akibat dari ketidaksinkronan hati dengan situasi. Situasinya saat ini, aku sedang duduk satu meja dengan Rafa di kafenya. Rafa yang mengajakku mampir untuk makan malam setelah pulang berkunjung dari panti asuhan. Bermain bersama anak-anak panti membuatku kecanduan ingin terus berkunjung ke sana.

"Eh, maksudnya..." Kalimatku terhenti ketika aku melihat sebersit rasa kecewa di wajah Rafa. "Maaf, Raf," cicitku menyesal.

Rafa menutupi wajah kecewanya dengan sebuah tawa yang terkesan dipaksakan. "Ternyata benar, langkah saya tertinggal di belakang Dheo."

"Raf, saya nggak bermaksud..." Ucapanku tercekat.

Rafa menghela napasnya. Menautkan kedua jarinya di atas meja. Pandangannya intens menatapku. "Dua alasan saya miliki sekarang. Alasan yang sebenarnya, saya kecewa. Karena apa yang ingin saya miliki, tidak bisa saya genggam. Alasan bohongnya, Jika kita hanya mampu jadi teman, itu bukan masalah, Ya."

Double shit! Semua rumit karena aku yang memulainya. Aku yang tidak bisa tegas pada perasaanku sendiri. Akibatnya, aku menyaksikan bagaimana ekspresi terluka Rafa perlihatkan sekarang.

"Maaf, Raf."

Sejak obrolanku dengan Fadya tiga hari yang lalu, aku tidak lagi menampik perasaanku. Perasaanku bukan atas nama Rafa, tapi atas nama Dheo.

"It's Ok." Jawaban yang sangat singkat.

"Makasih karena selama ini udah berusaha meyakinkan saya. Kamu partner ngobrol yang asyik, saya nggak berharap kamu memaafkan saya setelah ini. Tapi pastinya saya akan kangen ngobrol sama kamu."

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, hanya bibirnya yang mengukir senyum tipis.

*****

Memberanikan diri untuk menemui si kampret yang berhasil mengobrak-abrik perasaanku lewat semua tindakannya. Aku berdiri di depan pintu rumahnya yang tertutup. Menunggu sang pemilik membuka pintu setelah beberapa kali aku memencet bel tadi.

"Yaya?"

Pria yang berdiri menjulang di depanku tampak kaget melihat keberadaanku.

Gemuruh di dada menjelaskan jika ada rindu yang terkuak ketika kembali melihat wajah datar menyebalkannya setelah sekian lama tidak kujumpai. Tidak menyangka, jika aku bisa merindukan Mr. KBBI.

"Kamu bilang lukisan itu simbol cinta. Apa itu berlaku buat lukisan yang kamu kasih ke saya?"

Tidak ada yang berubah dari ekspresinya selain gestur santai yang selalu ia tampilkan. Aku akui, jika Dheo pandai menguasai dirinya dengan ekspresi andalannya itu.

"Mari masuk, Ya."

"Jawab, Yo!" Aku tidak lagi bisa menunggu sekarang.

"Iya."

Partikel Jodoh (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang