Partikel 37

38.9K 7.7K 647
                                    

Sindiran keras soal aku yang tidak bisa memasak semakin gencar dilakukan oleh Mama. Sindiran itu selalu terjadi saat sarapan atau makan malam. Posisiku semakin tersudut ketika Mama menjadikan kemampuan memasak Dheo sebagai senjata untuk memukulku dengan telak.

Malam ini aku akan membuktikan kemampuanku di dapur. Sebelum tempur, aku minta berbagai resep masakan dari Fadya. Sayang seribu sayang, semua resep itu membuatku tepuk jidat. Akhirnya, Fadya menyuruhku memasak tumis kangkung, bagi dia itu adalah masakan paling mudah. Bagi aku tetap saja sulit.

Aku tidak tahu tekstur dan tingkat kematangan dari kangkungnya sendiri. Kata Fadya, sayuran tidak boleh dimasak terlalu lembek, nanti seratnya hilang.

"Selesai!" Dengan bangga aku mengangkat sepiring tumis kangkung hasil eksperimenku. Kini saatnya dua juri di belakang sana mencicipi hasil masakanku. Mr. KBBI si kanebo kering dengan mulut bon cabenya dan Mamaku tercinta yang kadang bermulut manis kalau ada maunya saja.

"Silakan dicoba!" Aku menyerahkan garpu pada Mama dan Dheo. Keduanya menatap hasil masakanku lekat-lekat.

Mari kita membaca ekspresi dari dua juri ini. Ekspresi Mama terkesan meremehkan kemampuan anaknya sendiri. Ia seperti tidak yakin dengan cita rasa tumis kangkungku. Sedangkan pria yang duduk di sebelah Mama, seperti biasa, ketenangan selalu menemani wajahnya. Namun di balik ketenangan itu, tersimpan kosa kata penuh ketajaman.

Aku duduk bertopang dagu di depan Mama dan Dheo. Menyaksikan Dheo mengambil tumis kangkungnya menggunakan garpu. Jantungku berdebar saat tumis kangkung itu meluncur ke dalam mulutnya.

"Enak nggak?" tanyaku berharap-harap cemas.

"Asin."

Jawaban singkat Dheo melunturkan senyumku.

"Masa sih?"

Ia mengangguk.

"Ma, masa kata Dheo ini asin. Cobain, Ma."

Mama langsung mencicipi. Belum sampai tiga detik Mama mengunyah, komentar sudah ia berikan.

"Yah ... ini mah Yaya kebelet nikah, Yo."

"Mama!" Aku memekik, dan Mama terkekeh geli.

Semangatku yang tadi penuh, kini merosot 50%. Ternyata memasak itu susah-susah gampang. Bagi amatir sepertiku, memasak itu jelas sulit.

"Padahal tadi masukin garamnya nggak banyak, cuma berlebihan kayaknya."

Mama mencibir. "Maaf, Yo. Tante punya anak gadis cuma bisanya masak air doang."

Bagus. Terus saja menjelekkan putrimu ini di depan pacaranya, Ibunda. Kau tahu, itu menyakitkan, Ibunda. Jantungku tertohok karena kalimatmu itu.

"Sebelum nikah, harus kursus masak dulu."

Ucapan Dheo sedikit menghilangkan rasa dongkolku pada Mama. Kali ini bibirku mengulas senyum kecil. "Itu sih gampang. Kan tinggal minta diajarin sama kamu."

Beberapa saat tidak ada respons dari Dheo. Namun dapat kutangkap ada keresahan dalam gurat wajahnya. Ada apa lagi ini? Apa dia sedang ada masalah lagi?

"Saya sibuk, mana sempat ada waktu buat mengajari kamu masak."

"Tuh, Ma. Yang katanya calon mantu potensialnya Mama ternyata pelit ilmu."

Mama hanya tertawa saja mendengarkan dumelanku. Sepertinya Mama satu suara dengan Dheo kali ini.

"Yo, punya ilmu itu harus dibagikan biar berkah. Nanti Tuhan nyabut kemampuan kamu masak, baru deh sadar."

Ocehanku sepertinya berlalu begitu saja. Sebab Dheo kepergok sedang melamun. Kali ini aku benar-benar yakin, jika ada masalah yang sedang dihadapinya.

Partikel Jodoh (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang